Bab 32

5.1K 485 4
                                    

"BIARKAN SAJA DIA MATI! TOH MANUSIA MEMANG HARUS MATI!"

"BERHENTI MENYURUH SESEORANG UNTUK MATI, JALANG SIALAN!"

Bahkan setelah hampir menghancurkan ruang tengah Hellion Manor, Serena dan Thea masih saling meneriaki. Gusta dan Carlo yang menahan kedua wanita itu sudah mulai kewalahan. Zeta dan para peri rumah Hellion Manor hanya berani mengintip dari balik dinding, takut kena celaka.

"Thea, sudah," bisik Gusta sambil memperkuat pegangannya pada kedua lengan Thea. Sebenarnya Thea sudah hampir menenang setelah Gusta menahannya, tapi Serena tidak mau berhenti.

"Siapa suruh memberikan pena bulumu pada manusia itu—"

"SERENA, BERHENTI BICARA!" bentak Carlo jengkel sambil meledakkan air di atas kepala adik perempuannya, membuat Serena basah kuyup seperti kucing yang habis tercebur di kubangan.

Entah apa salah Thea, sampai Serena hendak melakukan hal yang sama ke atas kepala Thea. Tapi untung saja Gusta bisa membaca hal itu dan dengan cepat menciptakan selubung transparan yang melindungi tubuh mereka berdua dari guyuran air.

Sepertinya kemarahan Serena bukan hanya karena kasus Isla, tapi juga menjadi isu pribadi saat melihat Gusta melindungi Thea sampai seperti itu.

Setelah yakin emosi Thea cukup terkendali, Gusta melepaskan pegangannya dan mengambil handuk tebal yang sudah disiapkan salah satu peri rumahnya lalu memberikan handuk itu pada Serena. Alih-alih mengambilnya, Serena malah membuang muka. Carlo yang masih jengkel dengan sikap adiknya langsung merampas handuk itu dan melemparnya dengan kasar ke kepala Serena sambil mendesis, "Jangan manja."

"Ada yang bisa menjelaskan padaku ada apa sebenarnya?"

Karena Thea dan Serena memilih bungkam dan Carlo tak begitu paham duduk perkaranya, akhirnya Zeta muncul dari balik dinding dan mencoba menjelaskan semuanya dengan takut-takut. Ia sudah bersiap akan kena marah juga, tapi tak ada di ruangan itu yang bereaksi. Gusta sibuk berpikir dan tiga malaikat lainnya sibuk menahan emosi.

"Jadi...Isla harus mati?" Gusta menghela napas, ikut stres memikirkan masalah ini. Baginya, kalaupun manusia harus mati, bukan begini caranya.

"Pasti ada cara lain kan..."

"Tidak ada. Dia harus mati—APA SIH?! AKU MENGATAKAN YANG SEBENARNYA, BODOH!" bentak Serena saat Thea sudah menyiapkan bola api di tangannya, bersiap menyerang wanita itu lagi.

"Kalau kalian bertengkar lagi, aku akan meledakkan rumah ini."

Semuanya membeku mendengar ancaman Gusta. Tak ada dari mereka yang pernah mendengar kata-kata kasar atau kotor meluncur dari bibir tipis Gusta, tapi kali ini laki-laki itu mengancam mereka. Hal itu cukup membuat mereka shock berat. Di bawah ancaman itu, akhirnya mereka bersedia untuk duduk bersama.

"Katakanlah..." Thea menelan ludahnya, terlalu takut untuk mengatakan lanjutan kalimatnya, "Katakanlah kalau Isla harus mati...tak bisakah ia naik banding ke Cupid Committee agar bisa jadi malaikat—"

"Dan pacaran dengan kakakku? Apa kau gila? Kau lupa apa yang terjadi padamu enam tahun yang lalu? Lagipula, sudah pasti dia akan kalah banding. Memakai pena bulu malaikat sembarangan saja sudah pelanggaran berat!"

Thea ingin membalas, namun ia lebih memilih menelan kata-katanya lagi. Ia tak ingin membahas apa yang terjadi enam tahun yang lalu. Thea sudah mengubur ingatan itu dengan tato mawar edennya.

"Kalaupun dia bisa naik banding, aku tidak bersedia untuk menjadi kekasihnya. Maaf, Thea. Tapi aku tidak tertarik dengan perempuan itu." Carlo tidak berusaha memperhalus kalimatnya. Itu sudah jadi tabiatnya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang