Bab 59

4.7K 474 12
                                    

Thea menjejakkan kakinya di padang bunga kosmos Covernhill—lagi.

Kali ini dia tidak setakut dulu. Rasa bencinya terhadap mimpi itu telah berkurang banyak. Bahkan kini mungkin hanya sisa remah-remahnya saja. Rumput dan bunga-bunga kosmos di kakinya bergoyang—dimanja oleh hembusan sejuk angin siang itu. Thea tidak terlena lagi oleh pemandangan mengagumkan itu. Dia tahu kalau awan hitam buas sebentar lagi akan menderu mencoba menelan semua yang dilewatinya.

Aku harus apa? Lari? Sekarang?

Thea memejamkan matanya, mencoba menghirup sebanyak mungkin udara segar di bukit itu sebelum ia mempersiapkan dirinya untuk lari. Ia tak akan kalah dari awan itu. Dia tak akan membiarkan tubuhnya terjatuh dan jari kelingkingnya patah lagi. Dia akan mengalahkan mimpinya sendiri.

Perlahan Thea membuka matanya. Bukan ketenangan yang ia temukan. Pupilnya membesar menyaksikan tambahan baru di mimpinya itu. Seorang gadis kecil mengenakan gaun putih—berusia sekitar delapan tahunan, berambut panjang dengan warna biru bercampur sedikit warna lavender dan perak, memakai hiasan rambut bulu angsa putih di sisi kanan kepalanya—duduk membelakang Thea memetiki bunga kosmos di sekitar kakinya yang telanjang.

"Apa yang kau lakukan di sana?! Cepat lari!" teriak Thea panik. Karena gadis itu tak kunjung bergeming, Thea sudah bersiap untuk menyeret gadis kecil itu ikut lari bersamanya.

"Tidak akan ada awan hitam lagi, Thea."

Kalau saja gadis itu tak menyebut namanya dan tidak menolehkan wajahnya untuk tersenyum pada Thea, dia sudah berpikir gadis itu hanya meracau. Mengikuti kata gadis kecil itu, Thea pun membalik tubuhnya dengan takut-takut—

Gadis itu benar.

Tidak ada awan hitam ataupun bagian desa yang hangus. Pohon ek di belakangnya tidak lagi terbelah. Pohon itu terlihat besar, hijau, dan rindang. Ingin rasanya Thea merebahkan kepalanya di bawa payung dedaunan pohon itu. Seluruh rumput berwarna hijau rata dengan percikan merah jambu dari bunga-bunga kosmos. Rumah-rumah penduduk di bawah bukit masih utuh. Thea bisa melihat penduduk desa melakukan aktivitasnya seperti biasa—berkebun, beternak, berjualan, bahkan sekedar saling sapa. Rumahnya ada di dekat alun-alun desa, telihat utuh dan baik-baik saja.

"Bagaimana kau melakukan itu?" Thea bergabung dengan gadis kecil itu, duduk di atas rumput dan membantunya memetic bunga-bunga kosmos.

"Aku tidak melakukan apapun," gadis kecil itu menggeleng. Rambutnya panjangnya bergoyang indah, mengingatkan Thea pada air laut yang berkilau karena tertimpa sinar. Ujung-ujung rambut gadis itu yang berwarna perak mirip buih ombak. Indah sekali. "Kau yang menciptakan ini semua. Kau yang melawan semua mimpi burukmu tanpa henti dan perlahan mengubahnya berkat semua cinta yang kau miliki di dalam hatimu."

Eh?

"Kau tidak mengenaliku?" Mata bulat gadis itu membesar, tapi sudut-sudutnya menekuk turun. Bibirnya yang kecil mengikuti tekukan sudut matanya. Ia terlihat kecewa karena Thea tak kunjung bisa mengenalinya. "Aku yang selama ini menumpang tinggal di dalam tubuhmu," dia mencoba memberi Thea sedikit petunjuk.

"Kau..." Hati Thea mencelos. Thea memundurkan punggungnya, lalu meletakkan kedua tangannya di atas rumput sebagai penyangga. Ia masih tak percaya. Vodara yang selama ini menggeliat, meraung-raung, dan bahkan sempat menyiksanya—adalah gadis kecil ini.

"Maaf ya, Thea." Wajah gadis kecil itu berubah penuh penyesalan. Ia menjulurkan sebatang bunga kosmos pada Thea sebagai permohonan maaf. "Aku tidak bermaksud melukaimu selama bertahun-tahun. Tapi sihir hitam yang digunakan iblis itu untuk memanggilku benar-benar sangat menyakitkan."

Thea tersenyum, kemudian mengambil bunga kosmos yang Vodara sodorkan sebagai tanda kalau dia memaafkan semua itu. "Tidak apa-apa. Sekarang kita berdua sudah tidak sakit lagi. Kan aku sudah mati."

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang