Bab 33

5.5K 512 21
                                    

Thea masih menatap pintu itu walaupun pintu itu sudah menutup dari lima belas menit yang lalu. Ia tak paham dengan apa yang ia rasakan. Seharusnya ia senang karena sudah memuntahkan apa yang mengganjal di tenggorokannya kan? Tapi kenapa yang ia rasakan sekarang hanya rasa bersalah? Gadis itu tahu kalau Gusta tidak mencintainya? Jawaban Serena tadi benar-benar mengejutkannya.

"Gusta...maaf..." Thea merengut dengan seluruh wajahnya menekuk ke bawah saat melihat Gusta masih ada di belakangnya menungguinya. Ia benar-benar sudah menciptakan banyak sekali masalah untuk cowok itu padahal Gusta sudah sangat banyak sekali membantunya.

Melihat raut wajah seperti itu, Gusta hanya tersenyum. Melihat laki-laki itu tersenyum lagi sangat menenangkan Thea, mengingat tadi Gusta sampai mengancam akan meledakkan rumahnya sendiri. Gusta melangkah dua kali mendekati Thea, menyentuh kedua pipi Thea, lalu mencium keningnya.

"Kau sudah makan?" tanya laki-laki itu, menatap lembut dengan kedua mata abu-abunya yang indah itu.

Thea menggeleng pelan. "Aku tidak lapar," jawabnya hampir tanpa suara. Semua tekanan yang ia rasakan sekarang membuat sistem pencernaannya tidak bekerja dengan baik. Perutnya sudah kenyang dengan semua makian Serena tadi.

"Kalau begitu, istirahatlah. Hari ini hari yang berat untukmu," Gusta berkata sambil jemarinya yang panjang mengatur rambut depan Thea yang berantakan. Thea bisa mencium aroma sejuk pegunungan dari tubuh laki-laki itu lebih jelas dengan jarak sedekat itu. Aroma itu selalu bisa membuatnya lebih tenang. Ingin rasanya ia ada di dekat laki-laki itu terus-menerus untuk menanggalkan semua emosinya.

"Boleh...aku memelukmu?" tanya Thea malu-malu, berdoa semua Gusta tidak tahu alasan ia ingin memeluk cowok itu.

Gusta tersenyum dan mendekap tubuh Thea senyaman yang ia bisa. "Tidak usah meminta, Thea. Kau boleh langsung memelukku kapanpun kau mau," bisik Gusta di telinganya.

Dan lagi-lagi, Thea tertidur di dekapannya.

* * *

"Gusta, aku bisa tidur sendiri," Thea berkata saat ia tak sengaja melihat dengan mata malaikatnya kalau Gusta masih berdiri di depan pintu kamarnya, padahal dia sudah siap menarik selimut untuk tidur. Hari ini adalah hari ketiga mereka hanya berdua di rumah itu dan Gusta memperlakukannya dengan terlalu hati-hati seakan-akan Thea adalah barang pecah belah.

"Aku tidak akan pergi sebelum kau tidur."

Astaga. Keras kepala sekali sih cowok ini, pikir Thea.

"Kalau begitu, kita berdua sama-sama tidak tidur saja, bagaimana?"

Gusta menoleh kaget saat pintu kamar Thea tiba-tiba terbuka dan kepala gadis itu sudah menyembul di sela-selanya. Melihat cengiran di wajah Thea, Gusta tak bisa melakukan apa-apa lagi. Gadis itu selalu berhasil membuat Gusta mengiyakan keinginannya.

Maka, begitulah, mereka berdua duduk di depan perapian. Suasananya sangat berbeda dengan saat Gusta menuang wine mahal itu untuk Carlo. Ruangan itu tampak lebih hangat, mungkin perpaduan dari api perapian, selimut wool tebal, minuman coklat panas, dan malaikat yang dicintainya duduk di sisinya.

"Aku belum mengucapkan terima kasih karena kau telah mencoba menyelamatkanku di mimpiku waktu itu," Thea membuka pembicaraan sambil mencoba menyerap hangat dari cangkir minuman yang digenggamnya.

"Tapi gagal," Gusta mendengus, meledek dirinya sendiri.

"Bagaimanapun kau sudah hampir mengorbankan dirimu sendiri."

"Thea, aku akan melakukan apapun untukmu," Gusta mengatakan kalimat itu dengan santai—seakan kalimat itu adalah suatu hal yang normal untuk diucapkan oleh seorang laki-laki.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang