Bab 44

4.8K 494 12
                                    

Pengecut.

Gusta meledek dirinya sendiri. Kali Gusta memilih langsung duduk di kedai kopi itu menunggu Thea datang tanpa menunggu di depan rumah Thea. Dinginnya udara pagi itu sangat tidak masuk akal. Ia tak mau Thea membuka pintu rumahnya dan terkejut menemukan Gusta yang sudah berubah jadi bongkahan es.

Hujan salju di luar sana membuat kedai kopi itu lebih ramai dari biasanya. Semua orang mencari tempat meneduh dan secangkir minuman hangat. Meja-meja sudah penuh bahkan sebelum waktunya Thea datang. Kalau begini, apa Thea tetap datang?

Gusta menggunakan mata malaikatnya untuk menemukan gadis itu. Ia bisa melihat Thea sedang menyebrang jalan mencoba berjalan secepat mungkin, tetap menuju tempat Gusta berada. Sepertinya pandangan gadis itu langsung lurus menuju kasir setelah ia membuka pintu kedai, karena dia tetap memesan kopinya tanpa sadar kalau tidak ada meja yang tersisa.

Thea kelihatan bingung. Ia mencoba berdiri melihat ke segala arah, berharap ada yang sudah selesai dan akan beranjak pergi. Tapi hujan salju yang semakin lebat di luar sana membuat tak seorang pun mau melangkah keluar. Thea mematung kebingungan selama semenit, lalu ia melakukan sesuatu yang membuat jantung Gusta kehilangan setengah tempo detakannya.

"Maaf, apa aku boleh bergabung di meja ini? Aku perlu mengisi ulang laptopku."

Akhirnya hari itu datang. Seperti sebuah takdir, Thea ada di hadapan Gusta dan bicara padanya. Bodohnya, Gusta hanya mematung menatap kedua mata hazel Thea, tak kunjung memberi jawaban. Ia mencoba menemukan sedikit familiaritas saat mata itu beradu pandang dengannya sambil sibuk memerintahkan matanya sendiri untuk tidak meneteskan air matanya.

Nihil.

"Ah, apa kau sedang menunggu seseorang? Kalau begitu, maafkan—"

"Tidak. Aku hanya sendirian," Gusta menahan Thea yang hendak pergi. Ia memutuskan untuk menerima keadaan kalau Thea tak mengenalinya lagi sama sekali. "Maaf, aku—kau mirip sekali dengan seseorang yang kukenal." Gusta merasa dadanya langsung sesak saat mengatakan kebohongan itu.

Tapi senyuman Thea langsung membuka sesak dadanya. "Pasti orang yang sangat kau sayangi, karena kau terlihat sedih sekali," tebak Thea yang sudah mengambil duduk di hadapan Gusta dan sekarang mengeluarkan laptopnya. Setelah meletakkan laptop itu di atas meja, sekarang Thea mengeluarkan charger laptop itu. Ia membuka gulungan charger itu, memasukkan salah satu ujungnya ke dalam lubang di sisi laptopnya, lalu memegang ujung lainnya dan terdiam. Thea terdiam cukup lama dengan menatap gugup pada lubang colokan di bawah tempat duduk Gusta.

"Sini, aku bantu," Gusta tak bisa menahan wajah gelinya melihat Thea yang persis robot rusak.

Dengan wajah yang merona karena malu, Thea mengulurkan ujung kabel itu pada Gusta. Saat ia melakukannya, Thea tak sengaja menyentuh ujung jari Gusta dan menciptakan sedikit kejut jantung di dada Gusta. "Jarimu dingin sekali. Apa kau baik-baik saja?"

Gusta menggeleng, tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Hanya sedikit kedinginan," jawabnya pendek. Semoga Thea tidak sadar kalau jarinya memang selalu dingin karena suhu tubuhnya berbeda dengan manusia.

Thea cepat-cepat merogoh saku mantelnya yang sekarang tersampir di punggung kursinya dan mengeluarkan sebuah hot pack. "Ini. Pakai saja," Thea mengulurkan satu-satunya hot pack miliknya pada Gusta. Gusta sudah menolaknya, tapi Thea bersikeras dan menjejalkannya di tangan Gusta. "Anggap saja balas budiku karena kau sudah memberiku tempat duduk. Kalau tidak, mungkin aku masih berkeliaran di bawah salju mencari kedai kopi lainnya."

Ucapan Thea tadi merekahkan senyum terbahagia Gusta selama enam bulan itu. Andai gadis itu tahu kalau Gusta bahkan rela berada di bawah hujan salju itu untuk mengantarnya mencari kedai kopi. Sayangnya, Gusta tak ingin membuat Thea ketakutan berpikir kalau Gusta adalah playboy yang sedang mencoba mengganggunya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang