Bab 8

6.3K 566 18
                                    

"Lipat sayapmu! Jangan norak!" tegur Zeta jengkel. Ia selalu kesal melihat Thea yang tak bisa menyembunyikan emosi perasaannya. Thea seperti buku yang terbuka lebar—isi hatinya dengan mudah dibaca oleh siapa saja.

"Maaf..."

Thea meminta maaf pada malaikat-malaikat baru di lorong kelas yang kaget melihat sayap Thea mengembang begitu saja. Thea jadi ingat awal-awal ia menjalani masa sebagai apprentice, mengembangkan sayap itu susah bukan main. Mau tak mau ia harus berjalan ke mana-mana. Bukan maksud Thea menyombong bisa mengembangkan sayapnya dengan mudah. Hanya saja ia sangat senang karena berhasil membawa beberapa bungkus makanan dari dapur. Ini adalah cadangan kalau-kalau Cato mulai cari-cari alasan lagi untuk tidak memberi makan Thea.

"Kita akan bertemu Helena lagi, eh? Untuk yang keenam kalinya?" Zeta menyindir dirinya sendiri saat membaca jadwal pelajarannya. Helena adalah guru pelajaran Sihir Perlindungan mereka. Karena mereka tidak kunjung lulus juga, ini adalah tahun ajaran keenam yang mempertemukan mereka dengan wanita itu.

"Mungkin nanti dia akan pura-pura tidak lihat kita."

Ucapan Thea ada alasannya. Saking bosannya bertemu dengan mereka berdua, Helena sempat menawari mereka berdua langsung lulus tanpa ikut kelasnya. Hal itu membuat Helena kena tegur dan skorsing selama sebulan. Luar biasa.

"Aaaaa! Lucu sekali!"

Pekikan gadis-gadis di sekitar mereka membuat Thea dan Zeta terkejut dan menoleh. Thea kira ada kelinci lucu yang baru mati dan naik ke Casthea atau sejenisnya. Tapi ternyata hanya sesosok malaikat kecil yang linglung di ujung koridor. Badannya mungil, mungkin kira-kira umur 4 tahun di umur manusia. Tubuhnya masih sedikit gempal karena lemak bayinya, terutama bagian pipi. Pipinya bulat dan kembung dengan warna merona seperti buah persik putih. Kedua sayapnya pendek dan kecil. Kelihatannya tidak mungkin kuat mengangkat tubuhnya, tapi nyatanya malaikat kecil itu terbang melayang ke mana-mana dengan lincahnya.

"Apa yang bocah itu lakukan di sekolah apprentice?" Zeta mengerutkan kening. Dia tidak begitu suka anak kecil. Semua orang tahu itu.

"Yah, sekolah ini milik mereka. Sah-sah saja," Thea memilih tidak menggubris dan lanjut memperhatikan jadwal pelajarannya.

Mereka yang dimaksudnya tak lain adalah para darah murni. Malaikat sekecil itu pastilah darah murni. Kalaupun ia adalah rekrutan dari dunia manusia, dia tidak akan ada di sini melainkan di taman bermain Utopia.

"Zeta, berhenti menarik rokku," gumam Thea yang mulai merasa terganggu roknya ditarik-tarik seperti itu. Ia perlu berfokus membaca jadwal pelajarannya agar tahu pelajaran mana yang bisa ia lewati—maksudnya, membolos.

"Apa? Buat apa aku menarik-narik rokmu—"

Mereka berdua bertukar pandang, merasa ada yang janggal. Perlahan Zeta dan Thea menunduk ke bawah. Di sana mereka menganga dengan dahi mengerut, melihat tangan malaikat mungil tadilah yang sedang menarik-narik rok Thea. Anehnya, si malaikat kecil itu tidak merasa takut. Ia justru nyengir lebar memperlihatkan gigi-giginya yang kecil dan kedua pipinya yang ditarik, sehingga gumpalan lemak bayi di pipinya berjejalan di ujung-ujung bibirnya. Semua malaikat di sekitar mereka pun menggila karena kegemasan, membuat Zeta dan Thea semakin risih.

"Kau...tersesat?" tanya Thea canggung. Ia tak yakin malaikat kecil ini harus diapakan. Kalau ini kucing atau kelinci, mungkin Thea sudah bawa pulang. Tapi bocah malaikat darah murni? Kalau ia bawa pulang, besoknya rumahnya pasti sudah rata dengan tanah.

Bukannya menjawab, malaikat kecil itu tergelak gemas dan memeluk pinggang Thea. Benar-benar memeluk erat, tak mau melepaskannya sama sekali. Persis koala. Masalahnya, Thea bukan pohon eucalyptus. Dia harus bergerak.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang