Bab 49

5.1K 485 6
                                        

Sudah hampir lima belas menit, Thea berdiri di depan cermin di kamar itu. Mencoba memikirkan bagaimana ia harus menyapa ayahnya. Lebih tepatnya 'pria yang di kehidupan sebelumnya menjadi ayahnya tapi dia tak bisa mengingatnya sama sekali'.

Hai, Ayah! Bagaimana kabarmu?

Thea melambai lalu cepat-cepat menggeleng. Terlalu sok kenal.

Selamat malam, Ayah. Apa kau baik-baik saja?

Thea menggeleng lagi sampai rambut sampingnya pindah menutupi setengah wajahnya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya—mengerang frustasi tak tahu harus bagaimana bersikap nanti. Tidak ada ingatan yang tersisa sama sekali di kepalanya tentang kehidupannya yang sebelumnya. Orang seperti apa ayahnya? Apa makanan kesukaannya? Apa momennya yang paling membahagiakan di kehidupan mereka dulu?

Bukankah sangat menyakitkan kalau ayahnya melihatnya lagi setelah sepuluh tahun tapi Thea tak ingat satupun tentangnya?

"Astaga. Kau membuatku kaget."

Thea melonjak kecil saat mendapati sosok Gusta muncul di cermin, di belakangnya. Pria itu tersenyum dengan pelipis menempel di rangka pintu memperhatikan Thea dengan lekat. Sejak kapan dia ada di sana? Apa dia melihat Thea melakukan hal-hal bodoh tadi?

"Ada apa?" Thea membalik tubuhnya menghadap Gusta— tak berani menatap mata laki-laki itu karena saking malunya.

"Ada tamu untukmu."

Tamu?

Thea berjalan turun ke ruang tengah dengan penasaran. Ia tak bisa menebak tamu yang disebutkan Gusta tadi. Tapi dari wajah Gusta yang cerah, yang pasti bukan Serena.

"THEAAA!"

Rambut pirang berponi, hidung pesek, wajah berbintik...

"Zeta?"

"Kau ingat aku?" Zeta memeluknya erat dan melebih-lebihkan tangis harunya.

"Umm...tidak sih sebenarnya..." Thea menatap Gusta, meminta pertolongan.

"Panjanglah ceritanya. Yang penting Thea tahu kalau kau Zeta." Gusta beralih kembali pada Thea. "Kita berangkat sekarang?" Gusta bertanya sambil melilitkan syal tebal merah di sekeliling leher Thea. Ia tak menghabiskan semua syal itu dalam gulungan melainkan membiarkan sedikit ujungnya menjuntai.

Saat melihat Zeta melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri, Thea tampak linglung. "Dia ikut?" Thea bertanya dengan suara sekecil mungkin. "Bukankah terlalu berbahaya untuk mengajaknya ke Median?"

Gusta hanya tersenyum sambil sekarang memakaikan topi rajut putih di kepala Thea. "Percayalah, kalian pernah melakukan hal yang lebih berbahaya dari ini."

Thea mengerutkan keningnya—tak percaya ia dulu sebrutal itu. "Misalnya?"

"Membuat Serena marah. Tak ada yang lebih mengerikan dari itu." Gusta mengulum senyum gelinya meninggalkan Thea untuk memakai sepatu bootsnya.

Udara sore itu sangat dingin walau tidak bersalju. Suhunya tidak aman untuk Gusta membawa Thea terbang. Kalau memaksa terbang, bisa-bisa Thea mati kena hipotermia sebelum tiba di Calton Hill. Satu-satunya cara yang tersisa adalah melakukannya dengan cara manusia—transportasi umum dan jalan kaki.

Angin kencang yang sedingin es serasa mencakar-cakar pipinya. Sesekali Thea berhenti untuk melompat-lompat kecil walaupun gerakan itu tak membantu apapun dalam mengurangi rasa dingin yang dirasakannya. Rasa dingin ini tidak hanya berasal dari suhu udara, juga karena keheningan canggung yang menyelimuti mereka. Dari awal mereka memulai perjalanan, Thea sudah merasa bersalah. Kalau saja ingatannya tidak hilang, kecanggungan ini pasti tidak terjadi.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang