Bab 19

6.2K 578 33
                                    

Thea merentangkan tangannya dan berguling...

Aneh.

Tak ada yang terjadi.

Seharusnya ia mendengar lantai berderit, menabrak tubuh Zeta, atau jatuh dari kasur pompanya kan? Kenapa tidak ada yang terjadi? Tubuhnya dengan bebas berguling kesana-kemari dengan leluasa dan nyaman—terlalu nyaman. Ada yang halus dan dingin mengalasi tubuhnya. Belum lagi sesuatu yang ia tiduri ini luar biasa empuk, seperti tidur...

Di awan?

Thea membuka matanya perlahan. Masih berat, tapi dia penasaran apa dia benar-benar di awan? Teorinya langsung runtuh saat melihat lambang klan Hellion terpahat di langit-langit dekat lampu kristal kamar itu. Dia tidak di awan, tapi dia di Hellion Manor. Tunggu—

Bukankah ini lebih baik dari awan?

Tidak ada lantai kayu berderit, atap berlubang, debu yang menyesakkan, laba-laba berpiknik di dinding! Atau bahkan Cato! Ya! Tidak ada Cato yang melemparnya dari tempat tidur hingga wajahnya hampir penyok. KEBEBASAN!

Lihat apa yang ada di sini! Tempat tidur raksasa, bantal bulu angsa yang sangat lembut, aroma penyegar ruangan yang memanjakan ruangan, bunga mawar segar di samping tempat tidur, dan baju tidur—

Baju tidur?

Sejak kapan Thea punya baju tidur seperti kemeja laki-laki begini?

Astaga! Seru Thea dalam hati. Ingatannya semalam hanya sampai melihat tubuh Zeta diangkut ke kamar oleh para peri rumah di sana. Setelah itu, ia tak ingat apapun. Apa Thea sudah berbuat bodoh? Apa dia melakukan kesalahan fatal lagi? Apa dia dan Gusta—

Seperti kebakaran jenggot, Thea menghambur keluar kamar, menuju kamar Gusta di dekat tangga. Thea mengetuk pelan di pintu kayu besar berbingkai emas. Tak ada jawaban. Tepat saat itu ia mencium bau kopi dan roti panggang dari lantai bawah. Mungkin Gusta sedang sarapan di bawah, pikir Thea.

Dengan langkah berjinjit sebisa mungkin tidak menimbulkan suara gaduh, Thea menuruni tangga. Ia bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan tangga itu berbentuk melingkar? Sepertinya kemarin lurus-lurus saja.

"Selamat pagi, Thea," sapa Gusta tersenyum dari balik meja counter di dapur. Meja itu selain sebagai fungsi sekat di dapur, juga seperti meja makan kecil dengan bangku-bangku kayu di sekelilingnya. Nuansa dapur itu sangat hangat dan sederhana, kontras dengan seisi rumah yang glamor.

"Tangganya..." Thea menunjuk tangga yang barusan ia turuni di belakangnya. Ia tak bisa melanjutkan pertanyaannya, jadi ia hanya menggaruk-garuk kepalanya kebingungan.

"Oh," Gusta tertawa kecil sambil meletakkan satu mug di meja makan untuk Thea. "Karena tanah bangunan ini kecil, orang tuaku mengakalinya dengan tangga serbaguna. Jadi tangga itu akan berubah-ubah, tergantung ruangan mana yang kau ingin tuju—ruang tengah, ruang baca, ruang makan, ruang santai, atau pintu ke kebun belakang. Tinggal pikirkan saja di kepalamu. Kalau kau tidak memikirkan apa-apa, dia akan membawamu ke ruang tengah."

"Wow..." Mata Thea membesar. Segera saja ia berlari naik lagi, tak sabar untuk mencoba apa yang diterangkan Gusta tadi. Tangga itu benar-benar berubah sesuai keinginan Thea! Ada tangga lurus lainnya selain tangga ke ruang tengah, yang menuju ke ruang baca. Ruang baca terlihat tenang dan sunyi dengan rak-rak buku menjulang dan penerangan temaram. Thea naik lagi dan tangga berubah sangat spiral ke bawah menuju ruang santai. Di ruang itu ada beberapa sofa besar dan perapian di depannya. Selain itu banyak papan permainan dan ada satu rak buku kecil. Saat percobaan terakhir kalinya, Thea mendapati dirinya berjalan menuju pintu kebun belakang. Di kebun itu ada bunga-bunga berwarna-warni yang sedang mekar dengan indahnya di musim dingin. Hujan sudah berhenti dan sinar matahari menyinari bunga-bunga itu dengan lembutnya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang