Bab 22

5.4K 469 4
                                    

Siang hari di Magenta Street nomor 15. Rumah yang cukup besar bagi orang yang tinggal hanya sendiri dengan kucingnya. Besar tapi berantakan. Sweater bekas pakai ada di punggung sofa, makanan kucing berserakan di lantai, kertas-kertas naskah yang tidak terpakai memenuhi meja makan, dan makanan kadaluarsa—

Dihidangkan pada tamu.

"Untung kita tidak bisa mati," bisik Zeta sambil menatap jijik pada biskuit yang disajikan pada mereka. Jelas-jelas biskuit itu sudah ada bercak abu karena jamuran.

"Walaupun tidak bisa mati, aku tidak akan mau menelan benda itu," balas Thea dengan wajah yang sudah ungu karena mual. Tak sanggup lagi, Thea akhirnya mengedik, mendorong piring itu menjauh. Tiba-tiba saja ada kucing abu-abu gendut dengan ujung telinga terlipat mengintip piring itu dari pinggir meja. Dengan satu sabetan kaki, beberapa keping biskuit pun terjatuh ke lantai.

"Apa kucing itu baik-baik saja?"

"Entahlah.

Mereka berdua sama-sama diam menyaksikan seksama kucing itu melahap biskuit kadaluarsa hasil curiannya dengan ngeri. Apakah malaikat maut di Althalos sudah siap menyambut kucing itu di gerbang Jembatan Pelangi?

"Ah, maaf lama. Aku habis sedikit beres-beres," gadis bernama Isla—yang mereka temui di bar beberapa hari lalu—yang merupakan pemilik rumah ini, bergabung di ruang tamu berantakan itu.

Thea mengerutkan kening. Gadis itu memang berganti pakaian, tapi motifnya sama seperti sebelumnya, hanya beda warna. Bajunya juga bertuliskan kalimat dalam Bahasa Inggris yang aneh: NEVER BRICK LOST. Sebagai penulis, dia seharusnya merasa gerah dengan tulisan itu. Apa dia beli baju lusinan di pecinan?

Isla kemudian menyadari apa yang dilakukan kucingnya. Thea dan Zeta berharap gadis itu cepat-cepat menjejalkan penawar racun pada kucingnya sebelum terlambat, tapi hal yang lebih mengejutkan pun terjadi: Isla memberikan beberapa keping lagi biskuit kadaluarsa itu pada kucingnya.

APA DIA MAU MEMBUNUH KUCINGNYA SENDIRI?!

"Tadi kalian bilang ada keperluan apa kemari?" Isla beralih lagi pada Thea dan Zeta.

"Kami mau merekrutmu," Thea langsung berkata pada intinya. Tak sabar ia ingin cepat-cepat angkat sayap dari rumah ini.

"Merekrut?" Kening Isla membentuk beberapa kerutan. "Maksud kalian menawariku pekerjaan?"

"Semacamnya," Zeta mengangguk cepat-cepat, sebelum Thea mulai bicara dan membuat takut Isla.

"Sebenarnya aku sedang dalam proses pelamaran kerja di tempat lain—"

"Jangan bercanda. Kau melamar di 20 perusahaan dan semuanya menolakmu kan? Kau putus asa lalu memilih untuk menulis novel roman tapi naskahmu ditolak terus—"

"Thea!" Zeta berbisik, memaksa Thea menenangkan diri. Saat Thea sadar, wajah Isla sudah merah padam. "Kau diam saja. Biar aku yang bicara."

Baiklah, sergah Thea dalam hati. Sekarang Thea akan memiliki peran yang sama dengan si kucing gendut itu—bengong dan lapar. Mungkin sebentar lagi mereka akan berbagi remah-remah biskuit kadaluarsa tadi.

"Kami menawarimu pekerjaan, yang sesuai bakatmu, tentu saja," Zeta berkata dengan nada yang sama sekali berbeda. Zeta meneguk air hangat dari cangkirnya. Gadis itu bilang tehnya habis, jadi hanya menyuguhkan mereka air hangat. Thea menunggu beberapa detik untuk menyaksikan reaksi Zeta. Yakin sahabatnya tidak menunjukkan gejala keracunan, Thea pun melakukan hal yang sama.

"Kalian dari perusahaan mana, ngomong-ngomong?" Isla mengangkat kedua kakinya, duduk bersila di kursinya.

"Kami..." Zeta melirik Thea. Thea tahu Zeta bingung harus jawab apa, tapi karena Thea kesal Zeta menyuruhnya diam, jadi Thea tidak berkata sepatah katapun dan hanya bermain adu melotot dengan si kucing gendut. "...tidak dari perusahaan manapun."

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang