Bab 15

6.1K 547 6
                                    

Sebelum matahari terbit. Gerbang Krea.

"Sial!"

"Dua puluh enam!" Zeta menghitung berapa kali kata itu meluncur dari mulut Thea. Belum sampai di tujuan mereka, tapi Thea sudah mengatakan kata sial sebanyak 26 kali. Belum lagi umpatan lainnya.

Serena memang jalang sialan.

Dia tahu Thea tak punya pilihan lain selain mengikuti apa katanya. Makanya dia santai saja saat Thea meledeknya semalam. Nasib mereka belum berbalik. Thea masih malaikat apprentice dan Serena adalah pemimpin klannya. Ibarat pertunjukan boneka, Thea bonekanya dan Serena adalah dalangnya.

Sebenarnya Thea sudah mulai bisa menerima kalau ia harus ke Dimia (dunia manusia) dan menjodohkan 1.000 pasangan dalam 30 hari. Tapi berangkat pagi ini? Itu terlalu mendadak, bukannya? Serena masih mau main-main melihat naga di Taman Alduin. Dia bahkan belum sempat berpamitan dengan semua orang di Bar Omora. Satu-satunya yang baru Thea lakukan adalah berpamitan pada Cato. Thea langsung menyesalinya saat melihat peri gila itu—tanpa basa-basi—langsung melompat menguasai tempat tidurnya dengan secangkir coklat panas dan keripik rebung.

"Bagus, Casthea. Kalian akan menikmati hidup yang membosankan tanpaku," gerutu Thea dengan penuh kesinisan saat mereka mulai masuk ke pos pemeriksaan pertama di Gerbang Krea. Pos pemeriksaan ini adalah pos pemeriksaan fisik untuk mengambil segala macam senjata karena mereka tidak diijinkan membawa senjata ke Dimia kecuali untuk tugas militer.

"Buka sayap kalian," perintah salah satu penjaga gerbang bertubuh tegap dan berkulit agak gelap pada mereka. Seperti yang sudah Thea duga, Zeta tak bisa menyembunyikan kegirangannya melihat para penjaga gerbang.

"Menurutmu apa bokongnya terlalu rata?" bisik Zeta saat mereka mulai menjauh dari si penjaga.

Thea langsung memutar kedua bola matanya. "Aku masih tak paham bagaimana kau bisa menilai kualitas malaikat laki-laki dari bokongnya."

"Bokong yang rata artinya mereka terlalu banyak duduk dan jarang olahraga."

Oke, haruskah mereka membahas bokong pagi-pagi buta begini?

Mereka melangkah masuk ke taman yang penuh bunga dandelion. Angin kencang pagi itu merontokkan sedikit kelopak bunga sehingga berterbangan seperti serpihan salju. Pemandangan yang janggal karena ini musim semi. Thea mengajak Zeta cepat-cepat berjalan melintasi taman itu karena hidungnya geli tiap kali ia tak sengaja menghirup kelopak-kelopak bunga itu.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah bangunan besar bergaya Yunani. Percayalah, bangunan itu sangat besar. Pilarnya saja lebih besar dari pilar kastil-kastil di Casthea. Di atas pilar-pilar raksasa itu ada ukiran dengan warna emas. Semua ukiran seperti sulur yang menjalar berpusat di lambang Gerbang Krea—Chimaera—seekor singa dengan kepala kambing di punggungnya dan kepala ular di ujung ekornya.

Di kantor ini mereka harus melakukan pemeriksaan berkas sebelum diijinkan melewati gerbang itu. Matahari belum tinggi tapi sudah ada beberapa antrian di sana. Wajar saja. Gerbang Krea buka 24 jam dan selalu sibuk. Berbeda dengan Gerbang Helewys yang kosong dan mencekam seperti hawa kuburan.

"Secara teknis, kau tidak perlu ikut ke Dimia bersamaku," Thea berkata pada Zeta saat mereka mengantri.

"Maksudmu kau ingin aku hidup di sini dengan membosankan tanpamu? Lebih baik aku ikut ke Dimia daripada harus hidup di dunia seperti itu."

Thea tersenyum. Senang rasanya punya sahabat yang selalu ada bersamanya, walaupun kadang ia merasa tidak pantas mendapatkannya.

Thea melangkah maju saat barisan di depannya mulai berkurang. Hanya perlu sepuluh menit untuk sampai di bagian paling depan barisan. Ada banyak meja di sana dan masing-masing meja melayani dengan sangat cepat, jadi tidak buang-buang waktu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang