Bab 25

5.4K 534 25
                                        

"Kucing?! Kau menarikku dari Althalos untuk SEEKOR KUCING?!" Carlo menendang dinding di belakangnya hingga retak.

Diteriaki seperti itu oleh Carlo, Thea langsung menyembunyikan wajahnya di balik punggung Zeta. Ergo Pendulum adalah tanda kesetiaan seorang malaikat. Jika ada malaikat yang memberikan Ergo Pendulumnya, itu artinya dia berjanji akan muncul saat dipanggil—di manapun, kapanpun dan tak peduli malaikat itu dalam kondisi apa. Sudah 6 tahun Thea memegang Ergo Pendulum Carlo, baru kali ini Thea memanggilnya. Itupun untuk menghidupkan seekor kucing. Wajar kalau Carlo murka.

"Sudah kubilang, jangan panggil begundal ini!" Zeta berbisik dengan nada kesal. Thea hanya berharap Zeta sudah memasang mantra anti-sadap. Kalau tidak, Carlo sudah pasti akan menjagal mereka berdua.

"Kau...siapa...?" dengan suara masih sengau, akhirnya Isla bisa bicara selain memanggil nama kucingnya.

"Umm...perkenalkan, ini Carlo Caera. Dia...eh, mantan bos kami berdua." Setelah mengatakan hal itu pada Isla, Thea cepat-cepat berbalik menghadap Carlo dan menarik senyum selebar-lebarnya. Carlo membalas senyuman Thea dengan tatapan, 'Kau pikir ini perkenalan di kelas!'

"Carlo, tolong bantu kami—"

"Tidak mau! Aku ini bangsawan—bukan pawang roh kucing!" sergah Carlo ketus, masih berdiri bersandar pada dinding. Kali ini kedua tangannya melipat di depan dada.

Kehabisan akal, Thea pun menjatuhkan lututnya di lantai dan menarik Zeta untuk ikut bersujud bersamanya, di depan kaki Carlo. "Kumohon, Carlo. Aku butuh bantuan gadis ini untuk menyelesaikan detensi kami."

"Cari orang lain saja."

Thea tiba-tiba terdiam. Matanya perlahan memicing, mencium sesuatu yang aneh dari laki-laki ini. "Kau bahkan tidak tanya detensi apa yang kumaksud? Kau sudah tahu apa yang adikmu lakukan padaku dan Zeta?!"

Carlo membuang pandangannya, tapi tak menjawab.

"KAU TAHU ADIKMU MENYIKSAKU, TAPI TIDAK MELAKUKAN APAPUN?!" Kali ini giliran Thea yang tersulut emosinya. Sebuah bola api besar sudah menyala di atas tangannya. Zeta langsung menariknya dan memaksanya untuk tenang.

Sedikit perasaan bersalah tersirat di wajah Carlo. Ia menurunkan lipatan tangannya dan menyeka rambut hitamnya ke belakang. Akhirnya dengan enggan, Carlo mengedik ke arah Isla. "Suruh dia menjauh dari ruangan ini."

Zeta dan Thea mengibaskan tangan mereka, memberi isyarat agar Isla keluar dari ruangan ini. Dengan tergopoh-gopoh, Isla pun masuk ke ruang kerjanya dan mengunci diri di sana.

Carlo berjalan mendekati mayat Nero lalu keningnya mengerut. "Kucing ini mati keracunan?" Ia menebak dari muntahan di dekat mulut si kucing gendut.

"Majikannya membiarkan kucing ini makan biskuit kadaluarsa," Thea terdengar seperti detektif.

Carlo melirik lorong yang menuju ruang kerja Isla. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras, tandanya ia jengkel bukan main. "Bagaimana kalau kita tukar saja? Kucingnya hidup, tapi majikannya mati? Lebih pantas begitu sepertinya."

"Bagaimana kalau kau ke Casthea dan memohon pada adikmu untuk menghapuskan detensi kami? Lebih pantas lagi kalau begitu," Thea melemparkan sindirannya.

"Serena sudah mengancamku duluan. Katanya, jangan ikut campur atau dia akan mengobrak-abrik Althalos."

"Medusa—uhuk—bersayap," Thea menyamarkan umpatannya dalam batuk palsu.

Mendengar hal itu, wajah Carlo seketika melunak karena menahan tawa. Carlo menghela napas panjang untuk mengembalikan ekspresi dingin di wajahnya lalu berkata, "Kau beruntung. Kebetulan aku kenal malaikat maut yang suka mengantarkan roh hewan-hewan menyebrangi Jembatan Pelangi."

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang