Bab 12

6.3K 623 16
                                    

"Heal!"

Sudah keempat kalinya Thea menyerukan mantra itu tapi tak ada yang terjadi. Jangankan sembuh, sepercik sinar mantra saja tak muncul sama sekali.

Ia mengerang kesal. Sihir penyembuhan adalah sihir yang sangat dasar tapi tidak bisa ia lakukan. Sekarang ia tak hanya gagal menolong dirinya sendiri, tapi juga sahabatnya. Zeta terlontar ke arah tenggara, Thea tak tahu di mana gadis itu mendarat. Semoga Zeta bisa menyembuhkan dirinya sendiri, itu pun kalau Zeta tidak pingsan. Entah apa yang akan dilakukan Cato pada Thea kalau Cato sampai tahu kebodohan ini.

Sekarang sisa dirinya sendiri di sana—duduk menangis, memeluk lutut menahan sakit. Kulitnya robek di mana-mana, darah mengalir membasahi jubahnya, dan tubuhnya terlalu nyeri untuk digerakkan. Andai saja ia lebih memperhatikan kelasnya. Andai saja dia lebih pintar dan lebih berguna. Begitulah ia terus memaki dirinya sendiri. Ia hanya bisa berdoa semoga ada malaikat yang kebetulan lewat sana dan membantu menyembuhkannya. Tapi tanah lapang itu kosong dan langit sudah hampir gelap. Tidak akan ada yang lewat di sana.

"He—"

Belum selesai mantra itu terucap, seberkas sinar putih keemasan menghangatkan kulit lengan Thea yang robek dan berdarah. Secara ajaib, darah berhenti mengalir dan luka Thea menutup dengan sendirinya. Sadar betul itu bukan sihirnya, Thea pun menoleh.

Gusta Hellion ada di sana, menyembuhkan lukanya.

"Ulurkan tanganmu," suara lembut Gusta adalah satu-satunya yang bisa didengarnya.

Dengan ragu-ragu Thea mengulurkan tangan kirinya. Ia tahu berurusan dengan Gusta sudah membuatnya dalam masalah, tapi hanya laki-laki itu yang ada di sana dan bisa menyembuhkannya. Thea tak mau bermalam dengan tubuh berdarah di tanah lapang yang dingin itu.

Mantra penyembuhan tidak memerlukan kontak langsung antara tangan penyembuh dan yang disembuhkannya, tapi entah kenapa jari-jari Gusta menyusuri setiap senti kulit Thea, mulai dari ujung jemari hingga pangkal lengan—entah luka atau tidak. Sesekali tangan Thea refleks bergetar saat sentuhan Gusta menimbulkan rasa geli di kulitnya.

Setelah laki-laki itu melakukan hal itu di kedua tangannya, Thea akhirnya tahu untuk apa itu. Gusta tidak hanya menyembuhkan luka luar Thea, tapi juga luka dalam yang mungkin ada. Seketika rasa sakit dan nyeri dikedua tangannya sirna dan tangannya terasa ringan kembali. Setelah tangan, Thea membiarkan Gusta melakukan sihir penyembuhan yang sama di kedua kakinya.

Lalu tiba giliran wajahnya.

Gusta menegakkan tubuhnya, menunduk menyentuh kening Thea yang berdarah. Kemudian ia meletakkan tangan kirinya di pipi Thea dan ibu jari tangan kanannya mulai menyusuri wajah Thea mulai dari kening, pelipis, hidung, pipi, hingga bibir Thea. Tak hanya menyembuhkan, Gusta juga perlahan membersihkan air mata dan noda tanah yang ada di sana. Sentuhan itu begitu lembut hingga Thea merasa sangat nyaman dan tak sadar memejamkan matanya.

"Le—leherku baik-baik saja," jawab Thea cepat-cepat dengan pipi merona saat ia membuka mata dan menyadari Gusta terdiam lama karena menatap lehernya.

"Ada darah di belakang bahumu," Gusta berbisik, seakan itu hanyalah rahasia mereka berdua.

Seperti sebuah manekin, ia membiarkan laki-laki itu melepaskan jubah luar yang dikenakannya dan menyisakan gaun putih di tubuh Thea. Angin dingin menyapu lengan Thea yang tak ditutupi oleh sehelai kainpun, tapi Thea benar-benar tak sanggup bergerak.

Dengan perlahan, Gusta menggeser untaian kain yang menutupi luka di belakang bahu Thea dan melakukan hal yang sama pada bahu itu. Luka-luka Thea sudah semua menutup sempurna, darah berhenti mengalir, rasa sakit benar-benar sirna, tapi Gusta tetap diam di belakang punggung Thea. Kini giliran Gusta yang tak sanggup bergerak melihat apa yang ada di belakang bahu Thea.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang