Bab 38

5.1K 512 6
                                    

Gusta terus mengekor Carlo, terbang ke arah utara. Udara siang itu cukup hangat dan anginnya tidak begitu kencang. Cuaca yang sangat enak untuk terbang. Setelah melewati sebuah desa kecil dengan ladang bunga lavender, tidak ada lagi rumah yang mereka lewati. Hanya rumput, pohon, dan bunga. Gusta mulai merasa ada yang aneh saat ia tiba-tiba melihat tapal kuda muncul-hilang di atas kepalanya dari balik awan.

Tidak hanya satu, tapi beberapa.

Pegasus?

Akhirnya ia tahu ke mana Carlo membawanya.

"Carlo! Saat kau tadi bilang jalan-jalan, itu maksudnya benar-benar 'jalan kaki'?!" protes Gusta yang mencoba membebaskan diri dari seretan Carlo masuk ke Hutan Tama.

Tak peduli dengan protes Gusta, Carlo tetap menarik kerah jubah sahabatnya itu dan mulai (memaksanya) mendaki bukit di hadapan mereka. "Jangan manja. Kau harus banyak olahraga."

"Aku latihan bertarung tiga jam setiap harinya! Apa kau lupa aku lahir di klan apa?"

Protes itu masih terus berlanjut bahkan saat bukit yang mereka daki mulai landai. Tak ada gubrisan sama sekali dari Carlo. Laki-laki itu terus berjalan menyusuri jalan setapak, meninggalkan Gusta di belakangnya. Carlo tahu betul kalau Gusta akan tetap mengekornya karena: (1) Gusta gampang tersesat, dan (2) jalan keluar sudah jauh.

Hutan Tama adalah satu-satunya area di Casthea yang bebas dari sihir malaikat. Mereka tidak bisa terbang, tidak bisa menyembuhkan diri, tidak bisa mengeluarkan api—apapun jenis sihirnya. Katanya, aturan ini dibuat agar semua flora dan fauna yang ada di dalamnya tetap terlindungi.

Flora dan fauna di Hutan Tama melampaui kata 'ajaib'. Hutan ini benar-benar penuh kejutan. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang bisa mendata dengan pasti jumlah dan spesies mereka. Semua yang masuk ke Hutan Tama harus bersiap bertemu makhluk-makhluk yang mengejutkan.

"Apa itu?!" seru Gusta yang jantungnya hampir copot. Mereka berdua terjungkal kaget saat seekor unicorn berambut merah melintas santai, memotong jalan di hadapan mereka tanpa permisi. "Kau lihat kan betapa berbahayanya hutan ini?! Mana ada unicorn warna rambut dan matanya merah!" Gusta masih bersikeras kalau keputusan memasuki hutan ini adalah keputusan yang sangat buruk.

"Unicorn itu pasti titisan iblis! Kita bakar saja?" Carlo ternyata sama shock-nya dengan Gusta. Tangannya mengurut dada, mencoba menenangkan jantungnya. Tentu saja Carlo tidak serius membakar Unicorn itu. Neftar bisa-bisa melempar mereka ke kandang naga kalau itu sampai terjadi.

Ya, Neftar yang merupakan pemimpin dari semua peri di Casthea adalah penjaga hutan ini. Hutan ini dan penjaganya sama-sama aneh.

Parade hewan-hewan aneh tidak berhenti sampai Unicorn merah. Mereka juga melihat kelinci terbang, macan yang bisa menghilang, ular yang bisa memelarkan tubuhnya seperti karet, burung hantu raksasa, dan banyak lagi hewan aneh lainnya.

Untuk tumbuhannya, jangan ditanya lagi. Pohon yang mereka lewati mencoba menghadang mereka dengan teka-teki aneh. Bahkan rumput yang mereka injak pun terkadang suka menggelitik kaki mereka. Dan kalau lihat buah beri merah merekah di pohon atau di atas rumput, jangan coba-coba untuk mengambilnya. Buah-buah itu bisa menyengat lebih sakit dari lebah.

Setelah berjalan hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di satu-satunya tempat paling normal di Hutan Tama. Sebuah padang rumput yang rumputnya tidak menggigit. Padang rumput dengan sedikit runtuhan buah beri yang buahnya tidak menyengat.

Di atas padang rumput yang normal itu, ada belasan kuda Pegasus sedang merumput. Tubuh mereka yang serba putih dengan sesekali kibasan rambut putihnya yang sangat halus, terlihat seperti lukisan agung berlatar sinar matahari keemasan. Tanpa dipanggil, salah satu kuda Pegasus dengan tato klan Caera di kupingnya berlari riang menghampiri Carlo. Namanya Qilda kuda paling indah di padang rumput itu. Tapi ada alasan sendiri kenapa Gusta memilih untuk tidak dekat-dekat dengan kuda itu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang