Bab 43

4.8K 474 5
                                    

Gusta berdiri di sisi Magenta Street, di seberang rumah nomor 15. Walaupun matahari baru saja terbit, tapi Gusta sudah di sana hampir tiga jam. Ia tak peduli angin dingin pagi itu hampir membuat tubuhnya beku. Ia tak peduli kakinya mulai tertimbun salju. Ia tak peduli beberapa malaikat yang tak sengaja lewat sana menatapnya dengan wajah yang bertanya-tanya. Ia hanya peduli dengan siapa yang ada di dalam rumah itu.

Abigail Wilson—bukan—Thea.

Carlo benar. Thea tinggal di rumah Isla. Mereka benar-benar bertukar tempat. Begitu Gusta keluar dari portal di Trafalgar Square, ia langsung menuju rumah ini tanpa sempat mampir ke Hellion Manor terlebih dahulu. Jantungnya langsung melompat girang saat ia melihat dengan mata malaikatnya Thea ada di dalam rumah itu, tertidur lelap.

Sedikit air mata sudah menetes dari sudut matanya, tapi langsung kering dengan udara musim dingin yang sangat memekakkan tulang itu. Ia tak tahu apakah air mata itu air mata bahagia karena melihat gadis itu akhirnya bisa tertidur dengan lelap—atau air mata pilu karena tahu Thea tak akan bisa mengenalinya. Yang jelas air mata itu mengandung kerinduan yang luar biasa. Namun, kerinduan itu tidak membuatnya meringkuk lagi, melainkan membuatnya ingin memeluk tubuh gadis itu seerat yang ia bisa.

Dia bangun!

Gusta tak bisa tenang saat tahu Thea sudah bangun dari tidurnya. Gadis itu perlu waktu hampir semenit hanya untuk duduk bengong menyadarkan dirinya kalau pagi hari sudah datang. Wajahnya yang baru bangun tidur persis orang yang pikirannya kosong karena terhipnotis, membuat Gusta tak bisa berhenti mengulum senyum gelinya.

Gusta memutuskan untuk menutup mata malaikatnya saat Thea mulai masuk ke kamar mandi. Ia tak mau ada malaikat yang kebetulan lewat sana memergoki pipinya merona atau bahkan mimisan karena melihat tubuh telanjang Thea.

Gusta sibuk bermain dengan burung-burung yang terbang hinggap dari satu tiang lampu ke tiang lampu lainnya, sampai ia tidak sadar kalau Thea sudah membuka pintu rumahnya. Dadanya berdengup tak beraturan dan napasnya terhenti begitu saja saat tiba-tiba melihat Thea muncul di depan pintu rumahnya untuk mengambil koran.

Gadis itu lebih cantik dari yang terakhir kali diingat Gusta. Rambut ikalnya kini hanya sepanjang dagu. Mata bulat besarnya masih secerah dulu. Sapuan sedikit perona pipi memberikan semu merah jambu di kedua pipinya—persis seperti wajahnya yang malu-malu saat sarapan pertama mereka di Hellion Manor dan Gusta melempar pertanyaan maukah Thea tinggal bersamanya selamanya. Sampai saat ini Gusta belum mendapat jawabannya, tapi ia akan menanyakan pertanyaan itu lagi jika ada kesempatan.

Gusta sekarang memperhatikan Thea yang menuangkan sereal ke mangkuknya, tapi sereal itu berhenti bahkan sebelum mangkuknya penuh. Hanya sedetik wajahnya cemberut, sebelum langsung tersenyum riang lalu mengambil roti dari lemari makanannya. Gadis itu menyobek-nyobek roti randumnya dan menutup sereal di atas mangkuknya dengan potongan roti itu, kemudian menuang susu segar hingga mangkuknya penuh. Apa yang dilakukan Thea tadi menciptakan senyum di bibir Gusta. Bukan Thea namanya kalau dia tidak banyak akal.

Seusai sarapan dan membaca cepat koran yang ia ambil tadi, Thea bersiap untuk pergi. Ia memakai mantel tebal berwarna abu-abu, melilitkan syal bermotif tartan dan memakai sepatu boots coklatnya. Thea membuka pintu rumah itu dan mengetes apakah pakaiannya sudah cukup hangat. Ternyata syalnya kurang tebal. Ia berlari masuk kembali dan mengganti syal merahnya dengan yang paling tebal.

Gusta mengikuti arah Thea berjalan sambil menjaga jarak di belakang Thea agar tidak terlalu dekat. Gusta tidak tahu sekuat apa intuisi Thea sebagai seorang manusia. Kadang, orang yang intuisinya kuat bisa tahu ada yang mengikuti mereka walaupun mereka tak bisa melihatnya. Gusta tidak ingin Thea menjadi tidak nyaman karena kehadirannya.

Gusta memperlambat langkahnya ketika sadar ke mana kaki Thea membawanya. Kedai Kopi Tony is Brewing—tempatnya dulu tak sengaja menemukan Thea dan Zeta terdampar ketiduran di salah satu meja. Masih jelas di ingatannya bagaimana Thea membiarkan Gusta membaca pikirannya sampai Gusta tahu bagaimana bobroknya rumah yang diberikan untuk mereka sampai-sampai mereka tidak bisa tidur semalam. Di kedai itu Gusta juga menawarkan ide gila agar Thea tinggal di Hellion Manor, lalu hari-hari paling membahagiakan dalam hidupnya pun dimulai.

Dari sekian banyak kedai kopi, kenapa Thea sekarang memilih kedai kopi ini lagi? Apa mungkin gadis ini merasakan ketertarikan emosional dengan kedai ini seperti saat tiap kali Gusta melihat tanaman mawar eden? Apa itu berarti masih ada sisa-sisa ingatan seorang Thea di kepala gadis itu?

Gusta memutuskan untuk menggunakan bentuk manusianya dan ikut masuk ke kedai kopi itu. Ia menganti di belakang Thea, tapi gadis itu tak menengok sama sekali. Gusta bisa mendengar barista di belakang kasir bertanya pada Thea, "Halo, Abi! Seperti biasa?"

Thea tersenyum lebar dan mengangguk.

Si barista membuatkan Thea secangkir cappuccino dengan taburan bubuk kayu manis di atasnya. Tanpa menoleh, Thea mengambil cangkir kopinya, mengambil tempat duduk di meja panjang dekat jendela. Ia menghadap jalanan di seberangnya melalui kaca jendela itu selama beberapa saat sebelum akhirnya membuka laptopnya dan mengetik cukup lama. Gusta memperhatikannya dari meja yang agak jauh. Sesekali Thea menggaruk-garuk kepalanya seperti yang dulu ia sering lakukan kalau kebingungan atau frustasi.

Semua aktifitas tadi dilakukan Gusta tidak hanya hari itu, tapi selama seminggu penuh. Ya, Gusta hanya berani memperhatikan gadis pujaannya dari jauh. Ia tak mau mendekat—takut tak sanggup menahan air matanya kalau Thea memperlakukannya seperti orang asing. Gusta tak tahu apakah yang dilakukannya ini termasuk sudah melindungi Thea seperti instruksi dari Crystal. Paling tidak, ia sudah cukup lega memastikan gadis itu baik-baik saja.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang