EPILOG

12.6K 793 227
                                    

Hujan siang itu sudah berhenti, tapi udara masih terasa dingin menusuk tulang. Thea menarik mantelnya lebih rapat, kemudian menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku mantel itu. Ia termenung cukup lama, menatap mantelnya sendiri. Bukan karena kurang tebal atau modelnya kurang bagus, tapi karena warnanya.

Hitam.

Thea tak percaya kalau akan datang satu hari di mana para malaikat dan peri di Casthea harus memakai pakaian hitam. Di kali pertamanya Thea memakai pakaian hitam, itu adalah untuk pemakaman sahabatnya—Zeta yang mati di tangannya sendiri.

Sebelum kejadian kemarin, malaikat tidak bisa mati, upacara pemakaman juga tidak pernah ada. Mereka tak tahu bagaimana seharusnya upacara itu dilaksanakan. Terlebih lagi kali ini tidak ada tubuh yang bisa dikubur atau dikremasi. Yang akhirnya mereka lakukan tadi hanyalah memasang sebuah batu nisan dan meletakkan bunga-bunga mawar putih di atasnya. Semua yang hadir di sana menunduk mengirim doa pada entah apa yang tersisa dari Zeta. Seingat Thea tubuh dan jiwa gadis itu sudah menjadi serpihan terkecil dan terbawa oleh angin.

Para pasukan Agnada—dipimpin oleh Gusta—memberi penghormatan terakhir mereka pada Zeta. Sesekali Gusta melirik cemas dari barisan ke arah Thea yang hanya bisa diam menontoni prosesi itu berlangsung. Tidak—Thea tidak tenang atau bisa berlapang dada menerima semua itu. Jauh di dalam hatinya ia ingin jatuh berlutut dan menangis sekeras-kerasnya, tapi teh teratai yang diberikan Crystal menekan paksa semua emosi yang ia miliki, menyisakan wajah datar tanpa ekspresi sama sekali.

Kemudian, mereka berjalan menuju sungai di dekat sana untuk melepaskan angsa-angsa origami putih. Thea yang seharusnya menjadi malaikat pertama yang melepas angsa origaminya, tak bergeming. Ia tak mau angsa origami yang akan ia lepas nanti akan membawa pergi semua kenangannya bersama Zeta.

Semua yang berdiri di belakang Thea hanya bertukar pandang—tak ada yang berani menegur Thea. Sampai Gusta menghampiri Thea, menggenggam tangannya dan menuntunnya untuk berjongkok melepas angsa origaminya. Setelah itu, Serena menyihir angsa-angsa origami itu agar bisa bergerak mengarungi sungai seperti halnya angsa betulan—tanda upacara pemakaman itu sudah selesai.

"Zeta tidak akan ke mana-mana. Dia akan tetap ada di hati dan pikiranmu karena dia sudah menjadi ingatan abadimu."

Kalimat yang diucapkan Gusta menjebol pertahanan Thea. Teh teratai itu tak sanggup lagi membendung air matanya. Ia pun roboh, mendorong kepalanya menempel di dada Gusta, mencari perlindungan untuk menangis di pelukan laki-laki itu.

* * *

Seminggu kemudian...

"Apa menurutmu Gusta akan menaruh saus coklatnya di atas waffleku atau wafflemu?" Thea berbisik pada Maribelle di balik karung tepung jagung, di dapur Kastil Hellion. Hampir lima menit mereka bersembunyi di sana, mengintip Tuan Muda Kastil Hellion menyibukkan diri memasak sarapan. Gusta sudah berhasil memasak roti lapis, waffle, kacang panggang, dan membuat jus buah bit untuk sarapan mereka bertiga.

"Waffle Maribelle!—"

"Ssst!"

Thea meletakkan jari telunjukkan di depan bibirnya sendiri, memberi isyarat bagi malaikat kecil itu untuk tidak berisi. Diberi isyarat seperti itu, Maribelle langsung menutup bibirnya sendiri dengan kedua tangan mungilnya. Sayangnya tangannya terlalu kecil untuk menutup pipinya juga, sehingga pipi bulatnya masih menyembul seperti adonan roti yang baru diberi ragi.

"Kalian sedang apa sih di sana?"

"WAAA!"

Kaget melihat wajah Gusta tiba-tiba muncul di atas, Thea dan Maribelle pun terjungkal menabrak lemari persediaan. Lemari itu bergoyang lalu menumpahkan semua isinya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang