Bab 46

4.9K 514 19
                                    

Gusta Hellion.

Aku tak tahu bagaimana aku harus mulai menceritakan laki-laki ini. Gusta Hellion, pemimpin muda Klan Hellion, komandan pertama seluruh malaikat prajurit di Casthea—dan juga adalah malaikat pelindungku. Aku kira pertama kali bertemu dengannya adalah saat ia memergokiku hampir membuka tuas gerbang Helewys. Saat itu aku benar-benar mau menangis mengira dia akan melemparku ke Thanaterra, tapi ternyata dia membiarkanku pergi. Waktu itu, aku tak tahu apakah dia bodoh atau hanya tak peduli.

Kemudian, saat aku pura-pura mabuk di sebuah malam pesta kelulusan (aku tidak lulus, ngomong-ngomong. Aku hanya ingin berpesta), aku melihatnya lagi, duduk di sana memandangiku sambil tersenyum melihat tingkahku. Saat itulah aku ingat, dia adalah laki-laki bermata abu indah, yang memuji betapa cantiknya aku dengan gaun pengantinku.

Entah karena gula dari jus apel yang aku minum atau bagaimana, aku kehilangan akal sehatku dan menciumnya. Aku tak tahu, kalau itu adalah awal semua petaka yang merundungku.

Gusta berhenti di bagian itu. Ia masih ingat betul betapa terkejutnya dirinya saat Thea menempelkan bibirnya malam itu. Gusta tak mau terlalu percaya diri karena mengira Thea mabuk, tapi saat menangkap rasa apel di bibir gadis itu, Gusta sadar kalau gadis itu tidak mabuk sama sekali dan fakta itu membuatnya ikut hilang kendali. Gadis yang ia kagumi selama bertahun-tahun tiba-tiba menciumnya. Sampai sekarang ia tak tahu keajaiban macam apa itu.

Gusta lanjut membaca.

Kau tahu, aku tidak menyesalinya. Jangan bilang-bilang Serena ya, tapi aku benar-benar menyukai ciuman itu.

Gusta melirik tubuh Thea yang masih terbaring di atas tempat tidur lalu menggeleng dengan pipi merona. Ia harus menahan dirinya sekarang untuk tidak mengacaukan suasana dengan mencium gadis itu.

Thea melanjutkan ceritanya dengan menggambarkan bagaimana Gusta selalu ada tiap kali ia butuh pertolongan. Mulai dari saat ia terjatuh di dekat kebun herbal Crystal, saat ia tak punya tempat tinggal layak di kota ini, dan saat ia berupaya bertahan dari rundungan Serena. Thea tidak membahas mimpi buruknya sama sekali. Mungkin Thea takut kalau ia membahasnya justru akan membangunkan mimpi itu lagi, seandainya menjadi manusia membuat mimpi buruk itu berhenti.

Tibalah Gusta pada paragraf terakhir.

Aku tak tahu apakah Gusta bercanda atau tidak—tapi dia sempat bertanya apaaku mau tinggal bersamanya. Saat aku menulis ini, aku belum sempat menjawabnya dan aku menyesal. Seandainya aku punya kesempatan lagi untuk bertemu dengannya, aku ingin menjawab pertanyaan itu walaupun ia mungkin tak mengingatnya.

Aku mau. Aku ingin memulai hidup dengannya.

Untuk kesekian kalinya di hari itu, air mata Gusta mengalir. Bagaimana mungkin dia melupakan pertanyaan sepenting itu yang ia ajukan pada Thea? Sekarang ia tahu jawabannya, tapi Thea tak mengingatnya sama sekali.

Gusta menutup laptop di pangkuannya dan menyingkirkannya ke atas meja. Ia berbaring pada sofa itu, menengadah menatap langit-langit. Rasanya ia tak ingin melakukan apapun malam itu selain menggemakan jawaban Thea terus menerus di kepalanya.

Aku mau. Aku ingin memulai hidup dengannya.

Thea, kembalilah. Ia membatin. Ia tak mau memulai hidupnya dengan seorang Abigail Wilson. Dia ingin Thea. Dia ingin gadis yang menulis naskah di laptop itu.

* * *

Walaupun Gusta sudah bertekad untuk tidak tidur demi menjaga Thea malam itu, tapi apa yang terjadi padanya malam itu ternyata membuatnya sangat lelah. Ia tidak sanggup lagi untuk tetap terjaga malam itu dan terlelap begitu saja di sofa itu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang