Bab 52

5.1K 461 12
                                    

Kemarin di Casthea...

Isla terbangun dari pingsannya, mendapati dirinya masih di kebun tomat rumahnya—terkapar dengan tulang-tulang yang hampir rontok. Astaga, ia hanya bisa mengeluh dalam hati. Cato pasti lagi-lagi melemparnya keluar jendela karena dia terlambat bangun.

Isla mendesis kesakitan. Sihir penyembuhnya belum bisa menyambung kembali tulang-tulang yang patah. Ia tak punya pilihan lain, selain tetap berbaring di sana sampai ada malaikat yang muncul dan berbaik hati mau mengobatinya. Yah, mungkin Isla ditertawai dulu sampai jadi perhatian publik baru diobati.

Otaknya berputar, berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang ia perbuat pada peri rumahnya. Rasanya tidak ada. Dia selalu patuh dan sopan pada Cato, tapi kenapa Cato begitu membencinya? Peri itu memakan habis makanannya kalau Isla tidak ada di meja makan tepat waktu, melarangnya menggunakan sihir di rumah itu, dan memakinya setiap saat. Apa perlakuan itu wajar untuk malaikat apprentice?

"Jangan menangis, anak bodoh."

Tiba-tiba gelap. Wajah Cato memblokir sinar matahari di atas wajah Isla. Ada satu wajah lagi yang tidak ia kenal bersama peri itu. Sesosok malaikat laki-laki seumurannya, berwajah ramah dan suaranya halus seperti perempuan. Malaikat itu bernama Uriah—hanya malaikat yang kebetulan lewat dan bersedia menyembuhkan Isla.

"Cato..." Isla mencicit saat mereka duduk berhadapan di ruang makan rumah mereka. Ia takut salah bicara dan berakhir terkapar di kebun tomat lagi. Tapi kondisi ini harus segera mereka bahas sebelum Isla jadi gila karena setiap hari disiksa seperti ini. "Aku salah apa sih—"

"Kenapa kau tidak melawan?"

Eh?

"Kenapa aku harus melawan?"

Mereka saling lempar pertanyaan. Keduanya memasang muka linglung.

"Tapi aku ingatnya kau selalu melawan."

Isla tak paham maksud ucapan peri rumahnya. Cato di seberang sana juga bungkam sambil menuangkan kacang dari dalam toples ke atas meja makan itu tanpa tatakan piring. Dengan jari-jarinya yang mungil, Cato mulai mengupas kacang itu satu per satu, menuangnya ke dalam mulutnya, lalu mengunyah...dan mengunyah...

Nafsu makan peri rumah Isla memang di luar akal sehat. Sekarang toples itu hampir kosong.

"Aku mau tanya sesuatu..." Isla jadi ingat dia masih punya pertanyaan yang mengganjal di pikirannya selama ini. "Apa sebelum diriku ada yang tinggal d sini?"

"Tidak." Tidak perlu dua detik untuk peri rumahnya menjawab walaupun Cato masih sibuk dengan kacang-kacangnya.

"Tapi..." Isla beranjak dari duduknya, berjalan masuk ke dalam kamarnya, lalu semenit kemudian kembali ke meja itu dengan sebuah kotak di tangannya. "Aku menemukan ini... Sepertinya ini bukan punyaku..."

Kotak itu berhasil membuat Cato berhenti mengunyah. Sebelah pipinya masih kembung berisi kacang, namun tatapannya terpaku lama pada kotak yang sekarang ada di atas meja. Dengan satu jentikan jari, Cato membuat tutupnya terbuka. Tak perlu mengaduk-aduk, benda yang paling atas itu saja sudah membuat peri rumah itu tersentak.

Isla ikut menengok isi kotak itu—penasaran kenapa Cato wajahnya sampai berubah sepucat itu. Kemudian dia pun ikut terdiam—tapi bukan karena merasa familiar, melainkan terkejut. "Serena dan Gusta sudah bertunangan?" tanya Isla penasaran mendapati undangan pertunangan Serena dan Gusta yang terbuat dari kertas epillum menutupi benda-benda lain di bawahnya. Dia sama sekali tak tahu hal itu. Dia tak pernah melihat cincin melingkar di jari keduanya atau rencana pernikahan mereka.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang