Bab 26

5.9K 531 15
                                    

Casthea, 7 tahun yang lalu...

"Kau payah sekali."

Suara itu membuat Thea terkesiap. Alih-alih mengobati lukanya, Thea malah menambah satu luka lagi karena ia terjatuh dari undakan tinggi itu.

Tapi bukan itu masalahnya.

Dari semua orang yang mungkin memergokinya tidak bisa menyembuhkan diri, kenapa harus Carlo yang meledeknya terang-terangan seperti itu? Carlo Caera-pemimpin muda klan Caera, ahli bertarung, dan terkenal dengan sikap dinginnya tapi tetap menjadi idola semua malaikat apprentice perempuan. Kalau masalah sifat angkuhnya, ya sudahlah. Seisi Casthea pun tahu kalau keluarga kastil Caera tidak ada yang tidak angkuh.

"Aku...hanya pura-pura..." Thea gelagapan tak mau mengakui kalau ia tak bisa menguasai mantra penyembuh. Ia takut Carlo mengadu pada Serena dan membuatnya mendapatkan jam pelajaran tambahan.

Carlo mendengus meledek, menonton Thea yang tak kunjung bisa memanjat undakan itu lagi. Tak ada sedikit pun keinginan laki-laki itu untuk membantu Thea. "Kalau kau memang menguasai mantra penyembuh, kau tidak akan masih berkutat di bawah sana sekarang-aduh!"

Sebuah batu melayang menghantam bahu Carlo. Carlo menatap Thea jengkel bukan main, tapi gadis itu malah memelototinya balik. Ini pertama kalinya ada yang berani melotot balik pada Carlo. "KALAU KAU TAHU AKU MASIH LUKA, BANTU AKU, BODOH!" maki Thea dengan tangan menggenggam batu bersiap melempari Carlo lagi. Kali ini sepertinya ia membidik jidat Carlo.

"Kenapa kau malah marah-marah sih?!" Carlo tak paham kenapa sekarang malah dia yang kena marah.

"COWOK PENGECUT!" Thea memaki untuk yang kedua kalinya tapi kali ini ia membalut batu itu dengan bara api.

Untung saja Carlo menghindar tepat waktu. Kalau tidak, rambutnya mungkin sudah hangus. "KAU TIDAK BISA MENYEMBUHKAN DIRI TAPI BISA MELEMPAR BOLA API KE KEPALAKU?! DASAR GILA!"

"BANTU-AKU-NAIK!" Thea memenggal kalimatnya per kata sambil terus menderu Carlo dengan bola-bola api.

"NAIK SAJA SENDIRI!"

"SAKIT-TAHU! AKU TAKUT DARAH!"

Carlo tak membalas lagi saat menyadari ada air yang menyelimuti mata gadis itu. Ia baru sadar kalau Thea tidak sedang bercanda. Gadis itu benar-benar perlu bantuannya untuk naik. Setelah menghela napas panjang, Carlo melompat dari pagar balkon itu dan meraup tubuh Thea-membawanya naik, memutari sisi utara Kastil Caera dan menurunkannya di atas bangku di balkon kamarnya.

Tanpa perlu mengucap mantranya, sinar keemasan dari telapak tangan Carlo langsung menyembuhkan luka-luka Thea. "Sudah. Jangan menangis," ucapnya ketus.

Carlo benci perempuan menangis. Ia tak pernah tahu bagaimana harus menghadapi perempuan yang menangis. Adiknya, Serena, tidak pernah menangis sama sekali. Sebaliknya, Serena malah sering membuat malaikat lain atau peri menangis karena tingkah lakunya. "Kenapa tadi kau tidak terbang naik saja sih?" tanya Carlo sambil memperhatikan Thea menyeka air matanya.

"Aku...kalau panik...tidak bisa membuka sayapku..." Thea berkata seperti tikus mencicit.

"Tapi kau bisa melempar bola api?" Kening Carlo mengerut. Entah kenapa, ia merasa tak satu hal pun dari gadis ini yang masuk akal.

"Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk melindungi diriku dari peri rumahku yang gila itu-" Tiba-tiba Thea langsung menggaruk-garuk kepalanya. "Ah, sudahlah. Kau pasti tidak percaya-"

"Percaya kok. Aku tahu Cato seperti apa."

Jawaban Carlo membuat kedua mata bulat Thea semakin besar.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang