Bab 60

5K 492 8
                                    

Selama beberapa detik Gusta sempat merasakan keajaiban ketika ia menangkap seberkas cahaya di mata hitam pekat Thea. Cahaya itu membesar, mengusir kegelapan yang tersisa di mata Thea. Di sanalah Gusta tahu kalau Thea berhasil mengalahkan kutukan Malphas.

"Gusta..."

Akhirnya Gusta bisa mendengar suara itu lagi. Bukan suara seorang Abigail Wilson, tapi suara Thea—suara yang ingin didengarnya di setiap pagi harinya. Begitu Vodara meninggalkan diri Thea, gadis itu langsung memeluknya erat. Gusta tahu pelukan itu bukan hanya pelukan kerinduan, tapi juga pelukan memohon perlindungan. Maka, Gusta pun menyalakan api Agnadanya untuk melindungi tubuh Thea dari Malphas.

Sayangnya ia terlambat.

Sihir Malphas ternyata sudah menembus punggung Thea terlebih dahulu sebelum tangan Thea berhasil menyentuh tubuh Gusta. Gadis itu perlahan melepaskan pelukannya lalu melayang jatuh seperti sehelai bulu. Mata Thea masih membuka saat Gusta mencoba meraihnya, namun sedetik setelah itu Thea benar-benar menutup kedua matanya.

Tubuh Thea terus jatuh melayang semakin jauh dari jangkauan Gusta. Di bawah sana ada Carlo, Serena, dan pasukan Agnada lainnya yang berebut meraih tubuh Thea. Tapi Qildalah yang lebih dulu melesat melewati mereka semua. Kuda Pegasus itu merentangkan sayapnya, memberikan tubuh Thea pendaratan terbaik yang bisa disiapkannya.

"ENYAH KAU, IBLIS KEPARAT!!!"

Gusta tak pernah semurka itu sebelumnya. Api Agnada di tubuhnya berkobar lebih hebat lagi—seakan Agnada di dalam dirinya juga bisa merasakan kepedihan dan amarahnya. Burung phoenix api di atas kepalanya membesar empat kali ukuran aslinya—menimbulkan kepucatan di wajah Sang Raja Iblis yang menyaksikannya. Sayap burung itu membentang memenuhi langit dengan cahaya apinya. Kini Malphas dan pterodactyl-nya seperti dua ekor semut yang siap diinjak-injak olehnya.

Menggunakan sihir, Gusta menarik paksa tubuh Malpas ke cengkeramannya. Dengan tangan berselimut api Agnada, Gusta mencekik leher iblis itu—menyalurkan semua kemurkaannya sampai iblis itu tak bisa berkutik lagi dan pterodactyl-nya benar-benar lenyap. Kulit leher Malphas terlihat mulai melepuh akibat panas api di tangan Gusta.

Tapi Gusta tak mau melakukan itu sendirian.

Gusta menghempaskan tubuh Malphas pada burung phoenix apinya yang sudah kelaparan di atas sana. Burung itu menyambut makanan yang dilontarkan Gusta untuknya dengan suka cita. Burung phoenix api Gusta mencabik-cabik tubuh Malphas seakan tubuh itu hanyalah selembar kertas yang dengan mudahnya dirobek-robek hingga serpihan terkecil. Setelah semua tubuh Malphas lenyap dilalap api Agnada, burung itupun menyusut—kembali bersatu di dalam tubuh Gusta.

Kemenangan itu tak ingin Gusta rayakan. Apalah gunanya menang melawan Malphas kalau gadis yang ia cintai—satu-satunya alasannya untuk hidup—kini sudah direnggut darinya—untuk kedua kalinya. Tak ada gunanya mendapatkan ingatan abadinya kembali kalau toh ingatan abadi itu kini hanya tinggal kenangan.

"Thea..."

Gusta memanggil nama pemilik tubuh yang kini berbaring tak bergerak di atas tanah. Wajah Thea pucat, seakan memastikan kalau tak ada roh yang tersisa di dalam tubuh itu. Kedua mata itu tidak akan terbuka kembali untuk mengerling padanya. Bibir itu tidak akan menyentuh bibirnya lagi atau untuk sekedar tersenyum, bahkan merengut. Suara yang ingin didengarkannya setiap hari tidak akan keluar lagi dari mulut itu.

"Cari rohnya! Temukan di manapun rohnya berada!" Gusta memerintahkan Crystal yang ada di belakangnya.

Wanita itu menggeleng—tangisnya semakin keras. "Aku...aku tidak bisa merasakan rohnya sama sekali, Lord Hellion..." cicitnya sembari membungkuk serendah yang ia bisa, merasa gagal menjalankan tugasnya. "Sihir hitam Malphas sudah menghancurkannya..."

"TIDAK MUNGKIN! THEAAAAA!"

Gusta berteriak dalam tangis pilunya, masih tak percaya kalau Thea kini benar-benar meninggalkannya. Carlo merangkul pundak Gusta, mencoba memberikannya kekuatan walaupun ia sendiri juga menangisi kehilangan terbesarnya itu.

Seisi pasukan Agnada, termasuk Serena, berlutut kemudian menunduk—memberi penghormatan terakhir pada Thea. Isak Isla terdengar paling keras di antara mereka. Kuda-kuda Pegasus ikut bersimpuh dan menunduk—sesuatu yang tak pernah mereka lakukan pada malaikat manapun sebelumnya. Kecuali Qilda, yang kini membaringkan kepalanya di dada Thea—dan menitikkan air mata untuk gadis itu. Naga Thoros terbang melintas di atas kepala mereka, melolong dan menyemburkan api dukanya.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang