Bab 35

4.8K 496 15
                                    

"Kau yakin?"

Serena bertanya untuk yang ketiga kalinya. Matanya mencoba menemukan kewarasan di mata Thea.

Thea duduk menunduk di ujung salah satu tempat tidur rumah sakit itu. Jemarinya dengan erat mencengkeram sprei putih di bawahnya, mencoba menguatkan hatinya. Sprei itu mengerut dan tetap begitu bahkan setelah Thea melepaskan cengkeramannya.

Thea lalu mengangkat wajahnya, melihat Isla terbaring di ranjang seberangnya. Wajahnya lebih pucat dari warna putih sprei di kamar itu, membuat warna gelap di bawah matanya tampak sangat kontras. Bibir dan kulitnya kering, seperti kehilangan semua kelembapannya. Tirai ditiup angin dari jendela yang terbuka, menggerakkan sedikit rambut depan Isla yang menipis karena rontok. Sehelai lagi baru saja jatuh terkulai di dekat kaki ranjang.

Bau alkohol bercampur disinfektan dari semua perabot di ruangan itu membuat semuanya lebih buruk. Thea sangat benci bau ini. Ini adalah bau kesakitan, keputusasaan, dan kematian. Lalu selang itu—Thea tak tahan melihat air mengalir tetes per tetes, seperti menghitung mundur akan sisa waktu yang mereka miliki.

Thea pun mengangguk—untuk yang ketiga kalinya juga. Serena tidak terlihat seterkejut saat Thea memanggilnya. Dia hanya ingin memastikan kalau dia tidak akan dituduh mendorong Thea untuk mengambil keputusan ini. Ya, pasti itu alasannya bertanya.

"Aku harus melakukannya. Aku sudah membuat terlalu banyak kesalahan—tapi tidak kali ini," Thea berkata dengan bibir tersenyum. Ia harus tersenyum untuk suatu hal yang lebih baik kan?

"Kau tahu kan kalau ritual ini belum tentu menghilangkan mimpi burukmu itu?"

Serena mengibaskan jubahnya sebelum ia duduk di sofa. Jubah itu sangat berbeda dengan jubah yang biasa Thea gunakan di Casthea. Jubah Serena terbuat dari serat sutra terbaik dengan benang emas disulam membentuk semua pola sulur indah di tepiannya. Ada hiasan rambut berbentuk merak dengan warna senada dengan benang emas itu, menempel di tengah cepolan rambutnya. Bahkan di Dimia pun, Serena masih mencoba menunjukkan strata sosialnya pada malaikat lain. Berbeda dengan Gusta dan Carlo yang pakaiannya membaur dengan manusia.

"Aku tahu. Paling tidak, aku bisa mati. Kalau mimpi itu datang lagi, aku tinggal membunuh diriku," Thea mencoba mencampur akhir kalimatnya dengan dengus tawa sinis. Tapi, ekspresi Serena sama sekali tidak berubah. Tawa Thea justru membuatnya semakin kesal. "Memangnya kau siapa, bicara soal hidup-mati seenteng itu?"

"Maaf..."

Pertanyaan Serena seperti bongkahan es tajam yang menusuk ulu hati Thea dan membekukannya sekaligus. Thea tak tahu bagaimana lagi ia harus membenci dirinya. Ia sudah melihat Isla dengan sisa-sisa tenaganya menyampaikan keinginannya untuk hidup pada Thea—dan ia masih menganggap remeh soal kematian?

Seharusnya mereka mengurungnya di Thanaterra saja agar iblis-iblis itu menggerogoti tubuhnya sampai busuk. Tubuh busuk tapi tetap hidup? Itu mungkin lebih buruk dari mati.

"Siapa gadis ini?" Serena mengedik ke arah tubuh Isla yang kini seperti manekin praktek mahasiswa kedokteran, tak bergerak di atas ranjangnya sama sekali dengan infus menjuntai dari tangannya. "Kenapa kau sampai mengorbankan nyawamu untuk dirinya?"

Thea terdiam sejenak, tak tahu harus mulai dari mana. Kalau ia mulai dari awal kenapa dia perlu bantuan Isla, pasti adu mulut itu akan pecah lagi. Thea tak mau ada pertengkaran lagi hari ini. Ia ingin semuanya cepat selesai dan Isla bisa melajutkan hidupnya lagi—mungkin dengan lebih baik.

"Anggap saja...aku akan memberikan aset yang lebih baik untuk klan Caera," Thea menarik bibirnya, tersenyum samar. Ia serius. Isla akan menjadi anak kesayangan Serena. Bahkan mungkin ia bisa menolong kota-kota yang menghitam? Entahlah. Yang jelas gadis itu lebih baik darinya yang hanya bisa mengacau dan mabuk-mabukan.

"Baiklah," Serena memutuskan ia tak bertanya lebih lanjut. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat, berdiri di antara kedua ranjang itu.

"Kau sendiri...yang akan melakukannya?" Mata Thea membelalak saat melihat Serena bersiap membuka kedua telapak tangannya. Jujur, ia belum bisa percaya seratus persen pada wanita itu. Kalau dihitung-hitung, dia lebih sering memanggil Serena dengan sebutan 'jalang keparat' daripada namanya. Bagaimana kalau Serena tidak melakukannya dan justru membunuh gadis itu untuk menyiksa Thea?

Serena menghela napas, bola matanya berputar. Ia mengerjap, menatap mata Thea tanpa suara selama beberapa detik, lalu beralih pada Isla. Tak berhenti sampai di sana. Ia mengangkat wajahnya, menatap langit-langit rumah sakit lalu mengerang kecil. Apa dia marah?

"Kau pikir ini hal yang mudah?" Serena memijat keningnya yang sudah berkeringat dingin. Thea bungkam seribu bahasa, takut salah jawab. "Thea, ini adalah sihir kuno—tidak bisa dilakukan sembarang malaikat. Aku salah satu yang cukup kuat untuk melakukannya. Itupun aku tak yakin akan berhasil. Aku bisa saja membunuh kalian berdua."

"Maaf, Serena. Lakukanlah." Thea tak ada keraguan lagi. Kali ini tak akan ada alasan apapun yang akan menarik keputusannya.

"Berbaringlah," Serena mengedik.

"Sebelum aku berbaring—" Thea meremas sprei di sisinya lagi. Ini adalah bagian yang paling berat, yang paling membuatnya terluka tiap kali memikirkannya, "—maukah kau berjanji satu hal padaku?"

"Apa itu? Cepat katakan." Wajah Serena tampak sangat kelelahan, padahal ia belum memulai sihir apapun. Keningnya sudah sangat basah, bibirnya mengering, pandangannya tak setajam biasanya. Sepertinya tekanan batin yang dialaminya lebih berat dari yang Thea alami. Bagaimana tidak? Dia akan menukar nasib Thea dan Isla—itupun kalau berhasil.

"Berjanjilah, kalau kau akan menghalangi apapun yang coba menghentikan ritual ini—apapun." Thea menekankan. Serena membisu, sepertinya tahu apa yang Thea maksud. "Kumohon, Serena. Apapun atau siapapun yang mencoba menghentikan ritual ini, tolong halangi—bagaimanapun caranya. Tak peduli apakah itu Gusta, Carlo, atau Zeta—"

"Berdoalah semoga sihirku masih cukup kuat untuk menghalangi mereka. Sekarang, berbaring. Cepat!"

Untuk pertama kalinya Thea melihat raut wajah Serena serapuh itu. Matanya sudah mulai sembap, tapi ia berusaha menahan air matanya. Beberapa kali wanita itu menelan ludahnya, dadanya bergerak naik-turun tak karuan. Saat ia mengangkat tangannya, Thea bisa melihat kedua tangan itu gemetar.

"Kita mulai," suaranya sedikit tercekat. Seberkas sinar hijau bercampur hitam keluar dari kedua telapak tangan Serena. Wanita itu menarik tiga tarikan napas panjang, sebelum mulai mengucap mantranya. "Troca scarta sola nombus..."

"THEAAA!"

Seperti ada yang meledakkan jendela di ujung ruangan, Gusta masuk bersama serpihan-serpihan kaca.

"HENTIKAN!—"

Serena menepati janjinya. Ia merentangkan kedua tangannya dan ledakan sinar langsung mendorong Gusta hingga menghantam dinding dengan keras. Gusta mencoba menghambur kembali, tapi kali ini ada dinding tak kasatmata yang sudah dibangun Serena untuk mengisolasinya.

"THEAAA! JANGAN LAKUKAN INI!"

Thea tak bisa menahan air matanya menyaksikan segala upaya yang dilakukan Gusta untuk mendobrak dinding itu. Ia mencoba meninjunya, meledakkannya, menembusnya—menggunakan segala sihir yang dimilikinya. Tapi dinding itu tak bergeming. Dinding itu sangat kuat dan mungkin lebih tebal dari kaca anti-peluru. Semakin Gusta mencoba menghancurkannya, semakin dinding itu mementalkan sihirnya.

Namun, dengan tubuh yang penuh luka dan darah sudah mengucur di mana-mana, Gusta tetap bangkit lagi dan terus mencoba.

"Gusta, berhenti menyakiti dirimu sendiri..." isak Thea, berharap Gusta mau mendengar permohonannya.

Thea bukanlah satu-satunya yang menangis. Air mata juga mengalir dari kedua mata Serena yang terpejam. Suaranya yang mengucap mantra terdengar goyah. Sesekali Serena berhenti di tengah-tengah mantranya untuk terisak.


*authornya nangis kejer...*

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang