Bab 9

6.2K 595 13
                                    

Aula utama Kastil Akademi Elspeth sehening Malam Renungan, padahal ada banyak orang di dalamnya. Saking heningnya, Thea bahkan bisa mendengar bunyi ludah ditelan. Hanya ada satu orang menelan ludah di sana—Zeta.

Kebanyakan yang ada di dalam aula itu adalah para apprentice dari klan Caera—klan yang merekrut Thea. Dan sialnya, Serena adalah pemimpin baru klan itu setelah Carlo, kakak laki-laki Serena, meninggalkan jabatan itu. Ada puluhan klan di Casthea dan Thea tidak hafal semuanya. Ia hanya tahu klan Helionn, klan keluarga Gusta. Ada juga klan Aetherys, klan yang merekrut Rufus; klan Soroya yang mempekerjakan para apprentice mereka seperti kuda dan klan Momusora, klan yang sempat bermasalah dengan klan Caera beberapa waktu yang lalu.

Thea sendiri duduk menopang jidatnya. Rahangnya sampai pegal mencoba menahan luapan kantuk. Serena—ups, Yang Mulia Serena—masih belum mau melepaskannya walaupun gadis itu tak kunjung mengucapkan satu katapun. Hanya memanggil Thea duduk di hadapannya dan diam seribu bahasa.

Ya. Keadaannya secanggung itu.

Serena dan Thea duduk berhadapan tanpa suara. Sekitar tiga puluh malaikat lainnya menontoni mereka—juga tanpa suara. Thea bertanya-tanya, haruskah ia lepaskan tanggul kantuknya untuk memecah suasana?

Tiba-tiba tercium bau kue kayu manis, menggelitik hidung Thea. Sekarang perut Thea meronta minta dijejali sesuatu. Thea mengerang jengkel dalam hati. Kenapa mereka tidak mencabut perutnya saat merekrutnya? Jadi malaikat yang masih punya perut itu merepotkan sekali!

Protesnya itu tak sengaja membuat mulut Thea terbuka. Dan itu artinya bahaya. Sekali mulut itu terbuka, tanggul kantuknya jebol. Ia menguap keras sekali, di depan wajah Serena. Beberapa malaikat yang menonton mereka mendesah cemas. Tapi sebagian besar pasti sedang menahan tawa puas mereka.

Akhirnya, Serena akan menghabisi Thea juga. Begitu mungkin isi pikiran mereka.

"Ngantuk?" desis Serena. Matanya berkilat, seakan-akan bisa membakar Thea sewaktu-waktu. Mungkin para peri rumah di kastil ini sebenarnya sedang menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak Thea.

Kesal karena Thea tak menjawabnya, Serena melontarkan kata-kata sindiriannya lagi. "Aku cukup terkejut semalam, bisa kubilang. Kau hadir di pesta kelulusan, walaupun kau gagal lulus—"

"Serena, aku mabuk semalam. Aku tidak ingat apapun," potong Thea. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Kau harusnya mengevaluasi dirimu—"

"Aku—mabuk," Thea menekankan kembali. Walaupun mabuk karena jus apel terdengar tidak mungkin, tapi dia yakin sekali kemarin itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya sama sekali setelah menghabiskan seluruh jus apelnya. Duh! Semua orang di sana tahu bagaimana parahnya tingkah Thea kalau mabuk dan terpaksa memakluminya. Cewek ini berharap Thea bertanggung jawab atas tindakannya saat mabuk? Thea bahkan pernah lari keliling kota dengan tudung saji di kepalanya, lho! "Aku tidak tahu kalau itu pacarmu yang aku cium semalam—"

Thea mendekap mulutnya saat menyadari pembesaran di mata Serena. Apa dia seharusnya tidak mengatakan kalimat itu?

"KAU!" Suara Serena memenuhi Aula. Gadis itu berdiri di hadapannya dengan jari tertuju ke wajah Thea. Kini Thea benar-benar terjaga. "AKU MUAK! BERHENTI BERTINGKAH SANTAI DAN CUEK SEAKAN-AKAN KAU TIDAK MAU PEDULI PADA KONSEKUENSI TINDAKANMU!"

Di saat itulah Thea mulai merasa ia sudah menyalakan api perang di antara mereka berdua. Sebenci apapun Thea pada Serena, itu adalah tindakan yang salah. Serena adalah malaikat 'Yang-Dipertuan-Agung', Thea adalah malaikat yang nista bodoh dan tukang bikin onar. Jelas kan siapa yang akan terbakar lebih dulu?

"Kau ditugaskan sebagai malaikat cinta tapi berapa pasangan yang berhasil kau jodohkan? NOL! Malaikat lain bekerja keras menjodohkan puluhan pasangan dalam sehari dan kau masih bisa terbang dari pesta satu ke pesta lainnya dengan santai!"

Serena benar. Thea tak ada penyangkalan. Hanya bisa mengerjap.

"Aku peduli padamu, Thea!"

Tidak, tidak, tidak. Gadis itu tidak peduli padaku. Satu-satunya yang dipedulikannya hanyalah citra dirinya dan baginya aku adalah noda di klannya yang sempurna. Thea mencoba menguatkan dirinya agar tidak termakan kepedulian palsu gadis gila itu.

"Apa kau mau kulempar ke—"

Thea tahu Serena hendak mengucapkan 'Althalos', tapi Thea juga tahu Serena akan lebih memilih menggigit sendiri lidahnya sampai putus daripada harus membiarkan nama itu meluncur dari mulutnya.

Thea melihat Serena mengepalkan tangannya dengan gemetar menahan marah. Untuk malaikat yang selalu menjaga citra dirinya, Serena tak pernah memperlihatkan kemarahannya di depan siapapun. Hanya Thea yang sanggup membuatnya seperti itu. Apa ini berarti sebuah rekor baru? Apa Thea harus merayakannya? Berapa barel bir yang harus ia pesan untuk perayaan ini? Karena Thea yakin seisi Casthea akan dengan senang hati berpesta dengannya.

"Aku beri kau kesempatan terakhir, Thea. 1000 pasangan dalam 30 hari, kalau tidak..." Serena memberi jeda. Entah perasaan Thea saja atau ada seberkas senyum kemenangan di wajah Serena.

"Kalau tidak, kau akan tetap di Dimia sampai batas waktu yang tidak ditentukan."

Hati Thea mencelos. Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. "Hey, hey, hey. Bukannya itu berlebihan? 1000 dalam 30 hari itu mustahil!"

Serena menghela napas, namun tidak menjawab. Sepertinya ia puas sekali melihat kepanikan di mata Thea. Tapi sudut bibirnya kendur lagi saat Thea berkata, "Ya sudah. Memangnya aku punya pilihan lain?" Sepertinya Serena tak menyangka Thea masih sanggup berkata-kata.

Tanpa menunggu persetujuan Serena, Thea bangkit dari duduknya dan berjalan pergi. Bukan ke tempat duduk di sebelah Zeta, tapi benar-benar berjalan menuju pintu. Buat apa lagi dia ada di sana?

"Oh, aku ingat sesuatu—" seru Thea tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Aneh, biasanya aku tidak ingat apa-apa kalau mabuk, tapi kali ini aku bisa mengingat sedikit dari kejadian semalam..."

Thea berpura-pura berpikir, lalu melanjutkan kalimatnya.

"Wajah pacarmu... Pasrah sekali saat aku menciumnya—"

Dinding transparan muncul tepat saat kilatan merah hampir menyambar punggung Thea. Untung Thea sedikit cukup pintar untuk benar-benar menguasai mantra pelindung. Telat sedikit saja Thea memasang mantra pelindung itu, dia pasti sudah ambruk dan tak sadarkan diri selama berbulan-bulan. Sekilas Thea bahkan bisa melihat retakan di dinding pelindungnya. Salah satu alasan kenapa Serena terpilih jadi pemimpin mereka adalah karena sihir gadis itu yang paling kuat di antara saudara-saudarinya.

Sambil mencoba menyembunyikan kekagetannya, Thea lanjut berjalan meninggalkan ruangan. Ketika tiba di pintu aula, langkahnya terhenti sejenak melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

Gusta? Sejak kapan laki-laki itu ada di sana?

Setengah tubuh Thea masih ada di batas ruangan itu jadi semua orang sekarang bisa melihat kehadiran Gusta, yang kebetulan adalah subjek pertikaian Thea dan Serena tadi. Gusta menatapnya dengan tatapan yang—entahlah—penuh kekaguman? Thea menangkap seberkas cahaya di kedua mata indah laki-laki itu.

Thea cepat-cepat membuang muka dan pergi dari sana. Ini bukanlah saatnya bertegur sapa dengan laki-laki itu, kecuali kalau Thea benar-benar ingin Serena melemparnya ke dunia manusia detik itu juga.

Thea melepas sepatunya dan menentengnya selagi ia berjalan telanjang kaki menembus kebun Satsuma sebelum sampai di gerbang sekolah. Sejujurnya, Thea agak tidak yakin ia benar-benar mabuk semalam. Ia ingat dengan jelas apa yang terjadi antaranya dan Gusta.

And he's a good kisser.


Tuh kaaan. Cium pacar orang sembarangan sih!


Terima kasih yang sudah baca sampai sini, jangan lupa voment :D

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang