Bab 57

4.7K 493 17
                                    

Tak yakin Thea akan pulih dengan cepat, Carlo pun dengan terpaksa menyerahkan tubuh Thea pada Isla. Carlo menyembunyikan mereka berdua di dalam gedung tua tadi. Di dalam gedung itu ada sebuah bilik yang cukup besar untuk Carlo memasang mantra pelindungnya. Paling tidak itu bisa mengulur waktu kalau Malphas atau pasukannya berusaha menyerang kedua gadis itu.

"Jaga Thea. Jangan sampai Malphas masuk ke pikirannya. Begitu ada yang aneh, panggil namaku," Carlo berpesan pada Isla. Gadis itu mengangguk, kemudian merebahkan kepala Thea di pangkuannya.

Sebelum meninggalkan bilik itu, Carlo beberapa kali menoleh balik. Hatinya benar-benar tersayat sekaligus cemas menyaksikan wajah Thea yang shock menatap kosong pada udara di atasnya. Tiba-tiba ia teringat bagaimana Thea dan Zeta enam bulan yang lalu memanggilnya dari Althalos hanya untuk menghidupkan kucing Isla. Duo gadis ceroboh itu kini sudah tiada. Carlo hanya bisa berharap semoga Thea cepat pulih dan bisa tertawa lagi. Ia tak sanggup lama-lama menyaksikan Thea sehancur itu.

Itupun kalau mereka bisa menang dari Malphas.

Carlo terbang meninggalkan Isla dan Thea, mencoba membangun kembali konsentrasinya secepat yang ia bisa. Pertempuran belum selesai. Tubuh Zeta yang hancur hanyalah awal dari perang mereka yang sebenarnya.

Sekarang Malphas sudah berada dalam wujud aslinya. Berbeda dengan anak buahnya, Malphas lebih menyerupai manusia—hanya saja tak berjiwa. Wajahnya putih seperti porselen, pucat dan pipinya kisut. Matanya hitam bulat tanpa cahaya dan hampir tanpa kelopak. Gigi-giginya seperti mengerut dan membentuk taring-taring tajam berbalut air liurnya yang berlendir menjijikkan. Sayap kelelawarnya lebih besar dari iblis-iblis lainnya.

Walaupun iblis itu tidak menampakkan ekspresinya, Carlo tahu Malphas sedang mengamati mereka satu per satu, mencari tubuh malaikat yang jiwanya terguncang atau kosong untuk ia jadikan tamengnya yang kedua. Hampir saja ia menyusupi tubuh Maxo, pemimpin penjaga gerbang. Untung saja pria itu dengan cepat menyalakan api Agnada di pedangnya dan berhasil menghalau makhluk itu.

"Jangan lengah! Nyalakan agnada kalian dan lindungi diri kalian masing-masing!" Carlo memperingatkan seisi pasukannya.

Ini harus diakhiri secepat mungkin! Carlo tak ingin melihat insiden mengerikan lainnya akibat ulah Malphas. Akhirnya, Carlo pun memutuskan untuk menyerukan komando terakhirnya.

"AGNADA ILOSGIUM!"

Komando itu adalah seruan untuk menghimpun seluruh kekuatan Agnada dan mengikatnya. Begitu komando itu diteriakkan, semua pasukan Agnada mengambil posisi mereka masing-masing. Mereka menembakkan semua sihir Agnada mereka ke udara, menciptakan sebuah kubah api raksasa dan diikat dengan cincin aksara sihir kuno dari kekuatan itu.

"BAKAR MEREKA SEMUA!"

Kubah itu menembakkan bara api raksasa, seperti bazooka—membabat habis seluruh makhluk Thanaterra di hadapan mereka. Serpihan dari tubuh-tubuh iblis yang terbakar memberi percikan warna hitam di tengah-tengah bara api Agnada yang berwarna merah keemasan.

Setelah beberapa saat, bara itu pun padam. Yang tersisa hanyalah serpihan tubuh pasukan iblis—

Dan Malphas.

Seisi pasukan Agnada membeku, tak bisa bernapas menyaksikan Sang Raja Iblis masih utuh berdiri seorang diri di hadapan mereka. Malphas tertawa lantang. Tawanya menggema sendiri, membalut suasana itu menjadi jauh lebih mencekam dari sebelumnya. Iblis itu menertawai para pasukan Agnada yang mulai kehilangan harapan karena serangan sebesar itu hanya mampu menghanguskan sebagian ujung jubahnya. Bahkan sayap-sayap kuda-kuda Pegasus dan naga Thoros pun mulai layu.

"Ada apa? Kalian tak bisa membunuhku?" kekeh Sang Raja Iblis. "Malaikat-malaikat bodoh dan peliharannya." Malphas mendecak sambil menggeleng meledek semua yang berdiri di hadapannya. "Ternyata kalian hanya percikan-percikan saja. Percikan yang kehilangan inti apinya."

Begitu serangan itu gagal tadi, Malphas langsung menyadari siapa inti api Agnada yang absen dari sana.

"Inti api kalian sudah kulempar ke dunia antah-berantah," Malphas terkekeh lagi.

Asap hitam keunguan di tubuh Malphas semakin menebal. Tidak—tidak hanya menebal—melainkan membumbung tinggi. Kini ada bara api hitam yang membalut tubuhnya, mirip bara api Ergo Pendulum Carlo. "KEMARI, KALIAN SEMUA!" raungnya, mencoba memanggil seluruh pasukan iblisnya dari Thanaterra.

Satu detik, dua detik, tiga detik...tak ada yang terjadi. Beda dengan Carlo yang hanya memberi jeda, kali ini panggilan Ergo Pendulum iblis itu benar-benar tidak menghasilkan apapun.

Keadaan berbalik. Giliran Carlo yang terbahak sekeras-kerasnya. "Kenapa, Malphas? Kau kehilangan sesuatu? Mungkin pasukan bantuanmu?"

"Maaf aku sedikit terlambat."

Ada suara lain yang baru bergabung dengan kericuhan itu. Suara yang membuat Malphas benar-benar merasa terancam. Suara yang tidak pernah disangka oleh Sang Raja Iblis akan terdengar lagi di sana secepat itu.

Dan satu-satunya suara yang mampu membangunkan Thea dari shock-nya.

Kerumunan pasukan Agnada membelah, memberi jalan bagi Gusta untuk berjalan dan berdiri di sebelah Carlo. Komandan utama mereka sudah menampakkan dirinya. Serangan yang mereka lakukan tadi tidak hanya untuk membabat habis pasukan Malphas, tapi juga menutupi panggilan Ergo Pendulumnya untuk Gusta.

Tubuh Gusta sangat berbeda dengan yang terakhir kali dilihat Malphas terakhir kali. Gusta kini tampak sehat bugar—bahkan lebih bersemangat dari biasanya. Sepertinya ia punya cukup banyak waktu untuk menyembuhkan diri di Median dan sedikit berolahraga. Gusta menarik sebelah sudut bibirnya, menciptakan senyum asimetris yang melemparkan ejekan terang-terangan pada si Raja Iblis. "Sebagai pelajaran saja, agar kau tidak mengulangi kebodohanmu di perang-perang berikutnya—"

"—itu pun kalau kau masih hidup," Carlo menimpali, masih terkikik geli.

"Iya, benar. Itu pun kalau kau masih hidup," Gusta menyetujui ucapan Carlo. "Jangan pernah melempar inti api Agnada masuk ke portal Median yang akan terbuka kemudian di Thanaterra."

Gusta berhenti sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya untuk memberi waktu bagi Malphas mencerna petunjuk yang diberikannya. Saat ekspresi murka akhirnya muncul di wajah iblis itu, Gusta melanjutkan kalimatnya, "Oh ya, Malphas. Kau benar. Aku tidak buang-buang waktu begitu berhasil menemukan pintu portal yang terbuka ke duniamu—"

Gusta menyudahi senyumannya.

"Aku membakar semua yang ada di Thanaterra."

Terdengar raungan bercampur dengan lolongan murka dari Sang Raja Iblis. Api hitam disekujur tubuhnya kembali membumbung. Tapi kali ini lidah api hitamnya bergerumul membentuk sesuatu—seekor makhluk mirip pterodactyl raksasa—mengepak di atas kepalanya. Makhluk itu berwarna hitam dengan nyala keunguan, sesuai warna sihir hitam Malphas.

Namun, apa yang terjadi di sana tidak membuat Gusta gentar sedikit pun. Ia justru sudah bisa memprediksi hal itu. Akhirnya Malphas melepas sihir tertingginya juga. Sebentar lagi perang akan usai. Sekarang tinggal menentukan siapa pemenangnya.

"Teman-teman," Gusta mengambil alih komando, memanggil seluruh pasukan Agnada, "ayo kita mulai saja."

Gusta mengepalkan kedua tinjunya lalu membuat mereka beradu di depan dadanya. Dengan satu hentakan itu, Gusta memanggil seluruh kekuatan Agnada—apapun sumbernya—untuk berkumpul di dirinya. Gusta menyerapnya hingga bara api itu lenyap. Lalu, tiba-tiba terjadi sebuah ledakan api yang sangat besar dari bawah kakinya. Ledakan itu menciptakan bara api Agnada terbesar selama pertarungan itu. Bara api itu terus berputar, membungkus tubuh Gusta, membumbung tinggi kemudian perlahan membentuk sesuatu—dimulai dari ekor, tubuh, kedua sayap, hingga kepala.

Seekor burung phoenix api.

Burung phoenix Agnada Gusta mengepak dan berteriak, menantang pterodactyl hitam milik Malphas yang juga melakukan hal yang sama. Kini yang tersisa hanyalah pertarungan di antara Gusta dan iblis itu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang