Bab 47

4.6K 489 0
                                    

Suasana ruang makan Hellion Manor tidak pernah sedingin ini. Sepasang ayah-anak itu duduk berhadapan tanpa suara, seakan mereka berdua hanyalah orang asing yang kebetulan menginap di bawah satu atap. Sang ayah sibuk menuangkan gula di kopinya dengan presisi, sang anak sibuk mengoles rotinya dengan mentega sampai tiga lapisan—bukan karena dia suka mentega, tapi lebih menghindari kontak mata dengan pria di hadapannya.

"Kau jatuh cinta pada Vodara. Anak bodoh. Mau cari mati?"

Pilihan kalimat pembuka dari ayahnya yang payah itu terpaksa membuat Gusta berhenti mengoles mentega. Dari tadi Gusta mencoba mengabaikan keberadaan ayahnya, tapi tidak bisa begitu lagi. Kejengkelannya sudah mendidih di ubun-ubun. Nafsu makannya tiba-tiba lenyap.

"Kau tahu siapa yang lebih bodoh dariku?" Gusta merendahkan suaranya, pura-pura membuat suasana lebih dramatis. Ayahnya tidak menyahut, tahu anaknya sedang menyiapkan amunisi untuk memantulkan ledekannya. Tapi Gusta tetap melanjutkan, "Ibuku. Ibuku lebih bodoh dariku karena wanita secantik dan selembut dirinya memilih menikahi pria aneh sepertimu."

Ayah Gusta melempar sendok gula begitu saja ke samping, membiarkan butiran-butiran gula bertebaran di atas meja. Dua peri rumah langsung datang seperti lebah, panik membersihkan kekacauan itu. Gusta hanya diam mengangkat dagunya, tak takut menatap langsung ke kedua mata ayahnya. Pisau dan rotinya sudah tergeletak di atas meja.

Sepertinya perang bukan hanya akan terjadi antara malaikat dan iblis, tapi juga antara dua orang ini.

"Apa...aku boleh bergabung...?"

Untung saja suara Thea menyelak di antara keadaan yang memanas itu. Gadis itu sudah berdiri mengintip dari balik pintu, takut kalau keduanya akan saling serang.

"Selamat pagi, Thea," Gusta menyapa dengan wajah yang sama sekali berbeda—cerah dan bahagia karena bisa melihat gadis itu kembali di pagi harinya. "Sarapan?" tanyanya sambil menggigit roti oles menteganya. Baru satu gigitan, Gusta langsung memuntahkannya—lupa seberapa banyak mentega yang ia sudah oles tadi.

"Terima kasih," Thea menjawab pelan sambil mengambil duduk ragu-ragu di sebelah Gusta. "Apa ayahmu marah aku ada di sini?" bisik Thea, masih seperti tikus yang mencicit ketakutan.

"Tidak usah dipikirkan. Mukanya memang begitu," Gusta tak berniat mengecilkan volume suaranya agar ayahnya juga bisa dengar.

"Bagaimana tidurmu, Abi?"

Gusta mendecak kesal mendengar ayahnya lebih memilih memanggil Thea dengan nama manusianya. Sekarang ia memotong-motong sosis panggangnya jadi potongan dadu.

"Berkat Anda, saya bisa tidur nyenyak. Terima kasih." Thea sedikit membungkuk, tapi tak berani menatap mata pria itu. Semalam ayah Gusta memberikan Thea sedikit sihir tidurnya agar bisa tidur tanpa mimpi. Sayang sekali pria itu tidak menurunkan sihir itu pada Gusta sehingga Gusta tidak bisa menolong Thea enam bulan yang lalu.

"Sihir itu hanya sementara. Selama benda itu masih ada di dalam dirimu dan Malphas memanggilnya, kau akan terus bermimpi buruk—bahkan lebih buruk."

"Malphas?! Dari mana kau tahu dia yang menyebabkan semua ini?"

Ayah Gusta berhenti mengunyah kacang panggangnya dan menatap anak laki-lakinya dengan tatapan kecewa seakan anaknya adalah anak paling bodoh yang pernah dilahirkan di dunia ini. "Menurutmu siapa lagi? Aku pergi selama ini bukan untuk jalan-jalan, tapi mengumpulkan sebanyak mungkin informasi."

Gusta memilih untuk tidak menyahut. Ia paling benci berargumen dengan ayahnya karena pria itu selalu mencoba memenangkan semua argumen dengan cara yang tidak logis.

Kemarin sebelum tidur Gusta sempat menceritakan pada Thea tentang, Vodara, Agnada, Malphas, dan semua informasi dasar tentang dunia mereka yang tidak ada di bacaannya. Thea terlihat masih berusaha mencerna, tapi dia mulai tidak tersesat di pembicaraan mereka.

"Astaga," Octo menghela napas, terdengar lelah walaupun dia tak melakukan apapun, "Ada Vodara dan Agnada di ruangan ini. Asal kalian jangan meledakkan rumah ini ya. Aku membangunnya dengan susah payah."

"Agnada? Eh?"

Dengan wajah linglung, Thea menatap Gusta dan Octo bergantian. Lalu matanya membesar saat Octo mengedik ke arah Gusta, memberi petunjuk kalau laki-laki itulah Agnada yang dia maksud.

"Kau—" Leher Thea tercekat. Tak sadar ia sudah memundurkan tubuhnya dari Gusta karena ketakutan.

"Agnada untuk membunuh iblis, Abi. Lagipula kalau bocah ini mau membunuhmu, dia sudah menusukmu dengan pisau menteganya dari tadi." Octo terlihat agak frustasi saat menyadari daya tangkap Thea lebih lambat dari yang ia kira.

"Maaf..." Tubuh Thea semakin mengerut di kursi itu.

"Aku yang harusnya takut padamu," Gusta mengulum senyum lalu memasukkan sebutir anggur hijau ke dalam mulutnya.

"Sebentar—" Octo bukan bermaksud menjegal kisah romansa di antara dua anak muda di hadapannya, tapi ia merasa ada sesuatu yang janggal. "Bukankah kau seharusnya malaikat?"

"Itu—eh..." Thea melirik Gusta. Gusta sama takutnya untuk menceritakan apa yang sudah terjadi. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Pria ini harus tahu.

The Immortal ApprenticeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang