chapter 16

5.3K 364 41
                                    

Anin memperhatikan ke sekelilingnya ketika berjalan di lorong sebuah sekolah pendidikan anak usia dini. Langkahnya santai hingga ia bisa mendengar suara-suara ribut dari sebuah ruangan berada beberapa langkah di depannya. Dirinya mengendap-endap, mengintip dari celah jendela yang terbuka.

"Udah gue bilangin juga, 'kan? Jangan ngasih kepercayaan sama si Dion! Apalagi ini soal duit. Udah tau dia gak bisa dipercaya," suara kesal seorang laki-laki berkemeja merah dengan kancing terbuka dan dalaman baju kaos hitam. Laki-laki itu mendengus marah sambil duduk di atas meja.

"Nyebelin banget deh, tu cowok! Kalo ketemu pengen gue bonyokin wajahnya!" seorang perempuan juga berkata dengan kesalnya. Rambutnya pendek sebahu dan memakai dress pink dilampisi cardigan coklat.

"Ada yang bisa ngubungin dia gak? Gue udah nyoba dari tadi, gak bisa-bisa," laki-laki lainnya yang memakai topi, tampak sibuk mengotak-atik ponsel di tangan dengan raut jengkel.

"Gak bisa, Ndre. Gue bahkan udah ngehubungin bonyok dia, adeknya juga. Gak ada yang tau dimana si begok tu ngumpet dimana. Gue curiga, keluarganya sengaja nyembunyiin dia. Sial!" Kheil, laki-laki berkemeja itu menjawab, masih dengan nada kesalnya.

"Gak, Kheil. Orang rumahnya emang gak tau dia dimana. Dion udah hampir tiga minggu gak pulang-pulang. Ibunya bahkan nelponin gue dua hari yang lalu nanyain kabar anaknya," Michelle menjawab dengan nada tenang. "Gue rasa, dia emang punya masalah deh. Entah apa, sampai dia malah ngelakuin hal ini."

"Chell, lo bisa gak, sekali aja gak ngebelain tu bocah? Dia udah kelewat batas, lo ngerti, 'kan?" Sheila, perempuan ber-cardigan menyela perkataan Michelle.

"Sheila bener, Chell. Gue jujur, dari awal udah nethink aja ama Dion sejak dia ngajuin diri di projek ini. Iya, dia anak dari temen bokap lo dan gue akuin kerjanya bagus. Sangat bagus malah. Tapi, belakangan ini dia kayak ngelakuin sesuatu gitu yang bikin gue curiga. Setiap gue tanya, selalu ngeles. Dan, akhirnya kejadian juga, 'kan?" ujar Andre.

"Dua ratus juta, Chell. Dua ratus juta. Kita udah mati-matian ngumpulin tu duit dari setahun lalu buat renovasi ni bangunan sama buat keperluan lainnya. Tapi dia dengan santainya bawa kabur tu duit entah kemana. Astaga...otak gue serasa mati aja mikirin kelangsungan sekolah ini..." Kheil mengusap kasar rambut cepaknya.

Michelle terdiam menatap teman-teman seperjuangannya sejak masih satu perguruan tinggi dulu hingga sekarang. Semua berawal dari mereka berempat. Keinginan mulia ingin membangun sebuah sekolah untuk anak-anak jalanan awalnya. Di tengah jalan ketika ingin mengembangkan sekolah yang dibangun, mereka menemui kesulitan. Saat itu, Dion datang mengajukan diri untuk bergabung membantu mereka. Semua kembali berjalan sempurna, sesuai dengan keinginan mereka.

Namun, di jalanan lurus pun, pasti ada kerikil yang menganggu perjalanan. Seiring waktu, sikap Dion mulai menunjukkan kecurigaan. Kheil, Sheila, maupun Andre selalu memperingati Michelle, yang sudah mereka anggap sebagai ketua. Namun, Michelle tampak tak terlalu memikirkan peringatan teman-temannya.

Hingga, ketika Michelle berencana untuk mengambil uang yang akan digunakan untuk kepentingan sekolah, Dion kembali mengajukan diri untuk mengambilnya. Michelle awalnya menolak, tapi dia tak bisa berbuat apa pun, karena saat itu dia tengah dipusingkan orang tuanya untuk pulang, sedangkan penarikan uang harus dilakukan hari itu juga.

Tak ada pilihan lain, terpaksa ia menyerahkan tugas itu pada Dion. Michelle tahu ini kesalahannya dan dia berjanji akan melakukan apa saja untuk menyelesaikan masalah ini.

Alis Michelle terangkat, kala matanya tak sengaja menangkap sosok perempuan tampak tengah meningtip ke ruangan tempat ia dan teman-temannya berada.

"Eh, Chell, lo mau kemana?" Andre menatap bingung perempuan itu yang berjalan ke arah pintu. Pertanyaannya menarik perhatian Kheil dan Sheila, mamandangi teman bertubuh mini mereka itu.

with you (greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang