chapter 38

4.5K 360 52
                                    

 Gracia duduk di tepi kasur, berdiri, jalan bolak-balik, lalu duduk di tepi kasur lagi. Terus begitu selama hampir sepuluh menit. Sesekali melirik pintu kamar, menebak-nebak kapan Shani akan muncul dan mengatakan sudah waktunya untuk pergi.

 Kenapa ia terlihat cemas sekali? Apa yang sedang ia pikirkan?

 Sejak kepulangan mereka dari honeymoon di Zurich dua pekan lalu, pikiran Gracia terus membayang akan permintaan putri kecilnya yang menginginkan seorang adik. Benar ia mengabulkannya, apalagi Shani juga terlihat sangat mengharapkannya. Tapi, masalahnya sekarang Gracia masih bimbang, apakah ini hal yang tepat atau tidak?

 Dia mengkhawatirkan masa depan.

 'Ini masalah nyawa. Apa aku sanggup mengandungnya, membawanya terlahir ke dunia ini, dan kami selamat setelahnya? Apalagi dengan penyakit ini yang masih menggangguku. Apa aku sanggup bertahan untuk itu?'

 Tubuhnya tak lagi sekuat dulu ketika ia mengandung Stefi. Gracia sungguh tak ingin hal buruk akan terjadi nantinya,

 "Tapi, aku juga gak ingin mengecewakan mereka. Apa yang harus kulakukan, ya Tuhan..."

 Gracia kembali duduk di tepi kasur, menutup wajah dengan kedua tangan, dan mengatur napas yang sedikit menyesaki dadanya.

 Tubuhnya tersentak, saat merasakan dua tangan  menangkup tangannya yang menutup wajah, dan menariknya dengan lembut. Kedua manik indah itu mengerjap perlahan, kemudian terjebak dalam dua manik kelam yang menatapnya dalam. Gracia mengalihkan pandangan dan menjarakkan wajahnya, tapi ditahan oleh Shani.

 "We can cancel it, if it's too much for you. I don't want to lose you, either. I'm fine with just Stefi and Jaa. Well, they're my kids too."

 "But not your descendants. Never can't, never will."

 Gracia menutup mata, membukanya lagi seiring hembusan napasnya menyapu hangat wajah Shani yang kini mendongak, duduk berlutut di hadapannya.

 "Aku siap, dengan apa yang akan terjadi nantinya. Kamu pun harus begitu. Aku gak mau sendiria-"

 "You'll not," napas Shani sedikit tercekat. Didekatinya wajah sang istri, mengecupnya lembut dan penuh perasaan. "Semua akan baik-baik aja. Kamu, bayi kita, kalian akan baik-baik aja. Kita akan jalanin berdua, kamu gak sendirian, sayang. Kamu gak sendiri."

 Shani bangkit berdiri, berpindah duduk di samping Gracia, dan membawanya dalam pelukan erat.

 "Gak sama kayak dulu waktu kamu ngandung Stefi. Sekarang kamu punya semua orang yang akan selalu sedia berada di sampingmu, menjagaimu, menemanimu, memberimu kekuatan untuk ngejalaninnya. Jangan pernah berpikir kalo kamu sendirian. Dan untuk apa yang akan terjadi ke depannya, hmm well, that's will be God's right for what's will happen."

 Shani menghembuskan napas pelan, saat sang istri hanya diam di pelukannya. Dikecupnya dalam puncak kepala Gracia, merenggangkan tubuh mereka hingga kedua tangannya kini menangkup kedua pipi gembul menggemaskan itu. Menatapnya lembut.

 "Yakinlah, akan ada jalan untuk kita ngelewatin semuanya. Dan yah, beruntungnya saat ini, kita dapat salah satu jalan itu."

 Gracia menaikkan alis, bertanya.

 Shani tersenyum manis, "Barusan aku dapat kabar dari Mamah, kalo dia dan rekan-rekannya udah nemuin cara buat ngatasin penyakit kamu. Kamu gak perlu lagi ngejalanin proses sama Papi kamu. Gak lama lagi kamu bakal sehat seutuhnya, sayang."

 "Benarkah?" tanya Gracia kaget dan antusias.

 "Hu-um!" balas Shani, mengangguk penuh yakin.

 "Akhirnyaaa aaaa aku seneng banget dengernya!" Gracia langsung menghambur ke pelukan Shani, memeluknya erat.

with you (greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang