chapter 25

4.3K 380 111
                                    

 Tubuh Gracia bergetar hebat melawan ingatan-ingatan menyakitkan akan masa lalu yang kelam. Mencoba bertahan, tapi rasa yang sungguh menyesakkan itu malah semakin menggerogoti hati dan pikirannya. Membuat kepalanya menjadi sangat sakit serta deru napas yang tersengal.

 Sementara Vino menatap nanar pada perempuan yang masih terduduk dengan kedua lutut merapat ke tubuhnya, serta kedua tangannya seakan meremas kuat rambutnya. Dia terlihat begitu ketakutan dan juga kesakitan.

 'Kenapa. Apa yang terjadi padanya?'

 "Gracia-" suara Vino tercekat memanggil nama perempuan yang masih melekat erat di hatinya itu. Langkahnya tergerak, mencoba mendekat perlahan, tapi seketika urung saat mendengar rintihan pelan itu.

 "Jangan lagi, aku mohon... jangan muncul lagi, jangan lagi."

 Pinta yang terus berulang.

 Vino tidak mengerti. Sama sekali tak mengerti. Apa telah terjadi sesuatu padanya ketika ia pergi dulu? Hatinya sungguh sakit dan perih melihat orang terkasihnya tampak menderita di depan matanya. Sedang ia tak tahu apa yang terjadi dan harus berbuat apa.

 Vino luruh. Ikut jatuh berlutut di hadapan Gracia. Jarak mereka tak cukup dekat untuk tangannya menggapai. Ingin sekali Vino merengkuh tubuh Gracia dalam pelukan. Seperti waktu dulu. Menenangkannya dari segala apa yang dirasakannya. Tapi, seakan ada sekat kuat membatasinya untuk menyentuh Gracia.

 "Gre, ini Kak Vino, sayang. Ini Kakak. Kamu masih ingat sama Kakak, 'kan? Gracia," Vino mencoba memanggil, nadanya tertahan oleh sesak yang menggumpal di dada.

 'Padahal sudah di depan mata. Kenapa kamu terasa sangat jauh sekali?'

 "Kak..."

Deg!

 Degub jantung Vino seakan berhenti berdetak mendengar panggilan dari suara merdu yang selalu dirindukan. Seperti sebuah harapan yang terkabul, Vino menanti lanjutan kalimat Gracia yang masih menutup diri dengan kedua tangannya itu.

 "Iya, Gre, ini Kakak. Kak Vino. Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu malah lari dari aku? Kenapa kamu seperti ketakutan begitu melihat aku, Gre? Kenapa-"

 "Pergi."

 "E-eh?"

 Vino tergagap dari rentetan pertanyaannya dengan satu kata dingin dan datar yang diucap Gracia.

 "Gracia? Eh, kena-"

 "Pergi!"

 "Gracia, kamu-"

 "Aku bilang pergi! Pergi! Pergi! Pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Semuanya sudah sudah mati! Yang lalu sudah pergi, mati! Aku mohon pergi!?"

 Vino terkejut dengan teriakan tiba-tiba Gracia yang menyuruhnya pergi. Kenapa-lagi, pertanyaan itu terus berputar di benaknya.

 "Gak, Gre. Kakak sudah sejauh ini cari kamu dan akhirnya kita ketemu. Gak mungkin Kakak akan pergi gitu aja."

 Vino bangkit berdiri, mengabaikan segala perasaan anehnya. Ia ingin merengkuh tubuh itu. Sungguh, rindunya sudah tak tertahan lagi. Tapi, baru saja tangannya menyentuh bahu Gracia, perempuan itu seketika berteriak histeris, menghalau tangan yang menyentuhnya.

 "GAK! Jangan sentuh aku. Pergi! Aku mohon pergi, tinggalkan aku sendiri. Aku mohon... hiks," tangisan seketika pecah. Terdengar miris, menyayat hati.

 Gracia sudah tidak kuat lagi. Kepalanya sakit, tubuhnya masih gemetaran, serta napasnya semakin menyesaki dadanya. Dia tidak ingin laki-laki di depannya itu tetap di sini. Dia tidak ingin melihatnya. Tidak ingin disentuh olehnya yang ia anggap sudah mati. Tak peduli akan sejarah yang pernah ada di antara mereka. Baginya sejarah itu sudah lama mati.

with you (greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang