"Kau ragu?"
Gadis itu tersentak mendengar nada kemarahan dari pria yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Kepalan tangan kanan gadis itu menguat, mengabaikan tetesan darah luka di telapak tangan dan lengannya. Kepalanya yang menunduk, ia tegakkan dan menoleh ke belakang.
"Jangan remehkan aku."
Pria itu tersenyum miring mendengar nada dingin disertai tatapan mematikan gadis di depannya.
"Apa yang kau tunggu? Selesaikan, Shani."
Gadis itu berdecak. Kembali fokus pada seorang laki-laki yang terengah-engah, menahan sakit, bersandar pada meja yang sudah terbalik. Kepala laki-laki itu berdarah, wajahnya babak belur, dan darah merembes dari sisi perutnya.
Shani membungkukkan badannya. Memunggut sebilah katana yang tergeletak di ujung sepatunya. Tangan gadis itu menggenggam erat pegangannya, menatap nanar pada mata pedang yang berlumuran darah. Mata tajam gadis itu beralih pada laki-laki di depannya.
"Tak termaafkan."
-----
Pagi yang tenang di kediaman Natio. Gracia baru saja memasuki rumahnya sehabis lari pagi sendirian. Dirinya sengaja tak membangunkan Shani dan Stefi. Dia ingin waktu sendiri dulu untuk menyegarkan kembali tubuh, hati, dan pikirannya.
Sudah dua minggu lebih berlalu sejak kejadian yang menimpanya. Semuanya kembali berjalan normal seperti biasanya. Kedua orang tua Gracia, Deva dan Veranda serta Shania dan Hamids sudah pulang ke Jakarta. Shani pun sudah masuk kerja lagi yang otomatis membuat Nao, Jan, Cherprang, dan Jaa juga kembali pulang ke Thailand.
Meski Stefi meraung tak ingin ditinggal sang kakak, tapi dia juga tak bisa melawan keputusan orang tuanya. Shani juga Gracia mempunyai rencana sendiri untuk gadis yang sudah sah menjadi putri angkat mereka itu. Beruntungnya masih ada Jinan yang dengan mudah membujuk little princess. Gadis kecil itu pun tak rewel lagi.
Gracia langsung menuju dapur, namun seketika terkejut kala mendapati seseorang yang tak terpikirkan olehnya, akan berada di hadapannya saat ini. Seseorang itu menoleh pada kehadiran Gracia. Senyuman mengembang di wajah cantiknya melihat ekspresi menggemaskan Gracia yang cengo.
"Aduuuh udah lama gak ketemu, kamu kok jadi makin cantik gini, sih hum? Gemesin banget lagi uwuwuwuwu."
Perempuan itu mendekati Gracia dan mengunyel-unyel pipinya.
"Aaaawhhaa Mwahmah Yhoonss!!"
Viviyona Aprilia malah tertawa senang melihat keterkejutan dari wajah Gracia yang masih diunyel-unyel olehnya.
"Tidak sopan main masuk rumah orang tanpa izin."
Perhatian kedua perempuan beda umur itu teralih pada Shani yang baru saja menuruni tangga. Dia berjalan ke arah Gracia dan Yona. Menarik dan melepaskan dengan lembut tangan si dokter dari pipi istrinya.
Gantian Shani yang kini merengkuh dan mengusap lembut pipi Gracia.
"Kamu lari pagi sendirian, emang tubuh kamu udah gak papa? Kenapa gak bangunin aku?" tanya Shani lembut. Tatapannya terpaku pada bola mata jernih yang selalu bisa membuatnya tenang.
Seakan tak menyadari keberadaan orang lain di dekat mereka, Gracia juga ikut terpana pada manik kelam yang menatapnya dalam. Semakin ia perhatikan, Gracia merasa ada yang tak beres dengan istrinya.
"Ekhem! Maaf Tuan Rumah, bukannya tidak sopan. Tapi, saya tadi diantar Adam ke sini, trus ditinggal gitu aja. Emang ya, anak-anak jaman sekarang, gak ada sopannya sama orang tua. Kalian juga, mesra-mesraan gini huufftt. Mending pulang aja deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
with you (greshan)
Fiksi Penggemarbersamamu memberiku arti sebuah keluarga yang tak pernah kurasakan sebelumnya. ini memang tak akan mudah, tapi jika bersamamu, aku yakin semua akan baik-baik saja.