Anin menaikkan alisnya mendapati Hamids tampak seperti anak hilang, celingak-celinguk, memperhatikan sekitarnya.
'Ngapain dia di sini?'
Mata Anin melirik meja Manda, tapi tak melihat perempuan itu di sana. Sedikit menghela napas, Anin mendekati Hamids.
"Hai, Mids. Lo ngapain di sini?"
"A-ah, Anin. Gue kira siapa...duh, gue ke sini mau ketemu sama Indira," jawab Hamids. "Kata Angel ruangannya di sini, tapi gue gak tau yang mana."
"Oh. Yaudah, ikut gue. Kebetulan gue juga mau ke ruangan Bu Indira."
Hamids menganggukkan kepalanya singkat, lalu mengikuti Anin menuju ruangan Shani. Sepanjang perjalanan memasuki kantor ini, Hamids dibuat kagum dengan interiornya. Desain bangunannya sangat berkelas juga pajangan-pajangan yang terlihat mewah. Apalagi di lantai ini, dimana ruangan sang bos berada.
"Kantor yang bagus."
Anin melirik laki-laki di sampingnya. Hanya senyuman kecil ia bagikan untuk pujian tiba-tiba itu. Anin mengetuk pelan pintu kayu di depan mereka. Setelah mendengar balasan dari dalam, dibukanya pelan pintu itu.
"Maaf mengganggu Bu Indira. Ada tamu yang ingin bertemu."
Shani mengalihkan pandangannya dari layar laptop, mendapati Anin dan Hamids sudah masuk dan berdiri di depan mejanya.
"Bu, ini berkas yang Ibu minta," kata Anin seraya menyerahkan beberapa map yang sedari tadi ia pegang.
Shani mengambilnya dan meletakkannya di ruang kosong di atas meja. "Anin di sini saja, ada yang mau saya diskusikan. Silahkan kalian berdua duduk."
Anin menatap Shani heran, tapi menurut. Hamids yang sedari tadi hanya diam, mengikuti perkataan perempuan itu dan duduk di kursi sebelah Anin. Shani menutup laptopnya, memberikan fokusnya pada dua orang di depannya.
"Oke, Hamids. Apa yang kamu dapat, dari apa yang saya minta?" tanya Shani tanpa basa basi. Alisnya naik satu, penasaran dengan raut gelisah laki-laki bertopi di depannya itu.
"Kabarku baik. Tapi, kabar Papinya Esge gak baik," ujar Hamids singkat.
"Maksud kamu?"
"Indira, sebenarnya aku gak mau nakutin kamu, tapi ini hanya asumsiku saja. Sepertinya ada satu rahasia penting yang disembunyikan keluarga Alexander, tentang kondisi sang kepala keluarga dan anak bungsunya. Begini," Hamids berdehem kecil sebelum melanjutkan perkataannya.
"Dulu, waktu aku dan Esge masih kecil, ada beberapa waktu dia ngilang gitu aja. Kalau kata Tante Veranda, dia pergi liburan sama Papinya. Tapi yang bikin aku curiga itu, waktu liburanya itu kayak terjadwal gitu dan hanya mereka berdua saja."
"Terjadwal, maksudnya? Mungkin aja mereka emang niat untuk liburan berdua aja gitu," Anin yang penasaran pun bertanya.
Anin melirik Shani. Sepertinya perempuan itu sengaja meminta Hamids untuk mencari tahu keadaan keluarga Gracia. Dia awalnya memintanya atau Angel untuk mencari tahu. Tapi karena perusahaan mereka baru saja kehilangan satu cabang perusahaan, jadilah semua karyawan menjadi lebih sibuk untuk menata kembali semuanya. Termasuk Shani juga, tentunya.
Oya, sampai sekarang Anin masih penasaran bagaimana cara Adam juga Nat menemukan bukti-bukti untuk menjerat mereka yang mengganggu perusahaan ini. Anin terkadang punya pikiran sendiri, kalau sebenarnya Adam dan Nat diam-diam selalu memperhatikan Shani. Ah, bukan hanya Shani saja, tapi Desy dan Jinan juga.
Mereka berlima itu, meski terikat tanpa hubungan darah sekalipun, jika bersama akan terlihat seperti saudara kandung.
Balik ke topik.

KAMU SEDANG MEMBACA
with you (greshan)
Fiksi Penggemarbersamamu memberiku arti sebuah keluarga yang tak pernah kurasakan sebelumnya. ini memang tak akan mudah, tapi jika bersamamu, aku yakin semua akan baik-baik saja.