"Gak, gak, Gracia jangan pergi. Jangan-"
"Graciaaa!! Hah..hah..haahhh."
Shani mengambil napas cepat, seperti baru saja dikejar sesuatu yang mengerikan. Dia terduduk dari mimpi buruknya. Menangkup kedua tangan di wajah, mengusapnya agak kasar lalu diakhiri hembusan napas panjang.
"Ughh."
Tubuhnya kembali menghempas ke kasur, mengerang kecil, merasakan tubuhnya sangat lemas. Perasaan familiar dari after effect suntikan sebuah obat yang biasa ia terima saat hilang kendali dulu. Shani menebak, pasti Desy menitipkannya pada Jan, dan perempuan itu yang menyuntiknya.
"Shhh what time is it?" gumam Shani meringis, menggerakkan kepalanya mencari jam dinding. Baru menyadari kalau dia berada di sebuah kamar biasa.
"Gracia ugh. Sial! Lemes banget ni badan. Argh, gak hah.. gue gak boleh lemah gini. Gracia nungguin gue. Dia mungkin dan emang marah sama gue, tapi dia gak akan mungkin ninggalin gue. Dia hanya kebawa emosi, ya ya pasti itu. Gue harus nyelamatin dia! Arrghh.."
Shani terus mengoceh, menyemangati diri untuk bangkit kembali, namun sayang, tubuhnya benar-benar lemas tak bertenaga. Sepertinya Jan kelebihan dosis pas menyuntiknya.
"Aarrghh siaaalll!!!"
Brak
"Kak Indira!" Jinan yang kebetulan ingin melihat keadaan kakaknya, tiba-tiba mendobrak pintu ketika mendengar teriakan Shani.
"Kak, Kakak kenapa? Kak, tenang Kak," Jinan berusaha menenangkan Shani.
"Ji ugh, Kakak harus pergi. Kakak harus nyelamatin istri Kakak aarggh."
Shani masih berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sia-sia.
'Jan sialan! Dia pasti sengaja ini!'
"Kak, tenang dulu. Iya, iya kita bakal nyelamatin Kak Gre lagi, tapi Kakak istirahat dulu. Kita gak mau usaha kita ntar kacau lagi kalau Kakak maksa dengan keadaan kayak gini. Tolong ngerti, Kak."
Shani terdiam mendengar ucapan Jinan. Membenarkannya, dia hanya akan mengacau jika memaksa. Apalagi dengan pikirannya yang tak jelas ini. Shani harus tenang, ah dia bahkan rasanya hampir lupa bagaimana bersikap tenang saat menghadapi suatu masalah.
Semenjak kehidupan damainya bersama Gracia, Shani terlena. Dia seakan lupa bahwa kehidupannya dulu sangatlah kelam dan membahayakan. Dia tidak mengantisipasi kalau akan berdampak pada kehidupan barunya ini. Berdampak pada orang tercintanya. Pada Gracia.
'Begok sangat lu, Shan.'
Jinan yang sebelumnya khawatir, kini ditambah cemas dan takut melihat ekspresi Shani yang tiba-tiba berubah datar dan 'menyeramkan'. Dia merasakan hawa familiar dari Kakaknya itu. Perasaan dulu yang dia kira sudah hilang, kini muncul kembali.
"Kak..?" panggil Jinan takut-takut.
"Ji, jam berapa sekarang?"
Jinan agak kaget mendengar suara dingin itu. Segera mengecek jam tangannya.
"Jam delapan malam. Kakak udah tidur selama delapan jam lebih dari sejak Jan nyuntik Kakak dengan obat penenang. Kita sekarang ada di salah satu rumah persembunyian milik Frans. Gak ada yang ngukutin kita ke sini. Bang Adam sama Kak Anin lagi ngobrol sama Frans dan dua rekannya. Kalau Jan meriksa senjata-senjata yang mereka miliki sama satu lagi rekannya si Frans. Kak, Tante Yona diculik juga. Maaf, kita gak bisa ngelindungi beliau."
Jinan menghela napas panjang setelah 'melaporkan' situasi mereka saat ini. Dia mengerti Shani yang di hadapannya kini bukanlah Shani yang beberapa menit lalu. Aura, sikap, dan tatapan itu, seperti waktu dulu. Tapi Jinan bersyukur dan merasa tenang, ada yang berbeda dari kakaknya itu. Dia yakin, semuanya akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
with you (greshan)
Fanficbersamamu memberiku arti sebuah keluarga yang tak pernah kurasakan sebelumnya. ini memang tak akan mudah, tapi jika bersamamu, aku yakin semua akan baik-baik saja.