chapter 42

3.7K 340 58
                                    

 Gracia menunda kepulangan mereka dan memilih untuk duduk di salah satu resto bersama Frans, sementara Shani dan Stefi duduk di meja lainnya. Shani sempat menolak, menginginkan agar mereka segera pulang saja. Tapi, dasarnya ibu hamil, keputusannya mutlak, tak bisa dibantah.

 Kini Frans memandang dalam diam perempuan cantik di depannya yang menyesap perlahan jus aplukat. Dia terlihat begitu tenang, setelah menceritakan kisah panjang nan kelam tentang apa yang terjadi padanya saat kelulusan SMA mereka dulu. Tentang Nadhif, Vino, serta kehidupannya setelah pergi dari rumah.

 Sejak kemunculan Vino kembali, penyakit, dan keluarganya, Gracia sadar, tak selamanya ia harus terus lari dan bersembunyi. Kenyataannya masa kelam itu tak akan berubah. Hanya akan membelengunya dalam kesedihan berkepanjangan jika ia tak mengatasinya. Jadilah Gracia memutuskan mengikuti saran Shani untuk berdamai dengan masa lalunya.

 Tak semudah yang ia bayangkan, tentu saja. Tapi seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya momen indah yang ia ukir bersama Stefi dan Shani, serta orang-orang baru yang menyemangatinya. Setidaknya kenangan pahit itu tak terlalu menyakitkan lagi.

 Gracia menerima 'mereka' sebagai bagian cerita yang menempanya untuk bisa memiliki kehidupan sempurnanya sekarang ini.

 Setiap luka akan menjadi kekuatan, juga tangis pun akan menjadi bahagiamu kelak.

 Gracia meletakkan gelasnya di atas meja, memperhatikan Frans yang kini menunduk dalam. Bisa ia tebak, kalau lelaki itu tengah memaki dirinya sendiri yang tidak bisa melindungi orang yang ia sayang. Mengingatkannya pada Hamids saat pertemuan mereka kembali, dulu.

 "Maaf. Maafin gue, Gre. Maaf banget gue gak bisa jagain lo waktu itu. Malah ngilang gitu aja. Jujur, gue gak punya nyali buat temuin lo lagi sehabis lo tolak. Bukan gue kesel sama lo, bukan. Gue hanya butuh waktu buat nenangin diri," nada Frans terdengar penuh penyesalan.

 Dia membayangkan betapa sakit dan sulitnya hidup Gracia dulu. Padahal gadis itu masih remaja, namun harus melalui kenyataan pahit itu. Sedangkan dia malah pergi dan tak mau sekalipun mencari tahu informasi tentang Gracia. Terlalu larut dalan ke'galauan' sehabis ditolak.

 "Gue, gue bahkan hapusin semua kontak yang berhubungan sama lo. Begoknya gue! Padahal gue sendiri yang janji bakalan selalu ada buat lo, bakal bantuin lo walau cuma sebagai teman. Haaahh gue yakin, lo juga pasti udah buang gelang itu, 'kan?"

 "Masih ada, kok."

 Frans cepat mengangkat kepalanya, menatap tak percaya pada apa yang dikatakan Gracia. "Lo, becanda, 'kan?"

 Gracia menggeleng pelan. "Gak, masih aku simpan. Bukannya itu tanda pertemanan kita?" Gracia tersenyum kecil, terlihat sangat santai menanggapinya.

 "Ta, tapi kita bahkan gak pernah komunikasi lagi..." Frans tergagap, terlalu kaget dengan sikap perempuan yang pernah membuatnya jatuh hati.

 "Aku tau kamu itu orangnya baik, Frans. Selain Grace, kamu orang yang aku izinin untuk berada dekat denganku. Mendapat kepercayaanku. Kamu juga sering bantuin aku, nemenin aku walau aku gak minta sekalipun. Mangkanya aku berani terbuka sama kamu tentang masa laluku yang kelam itu," Gracia menghela napas pelan.

 Grace, teman sebangku Gracia dulu. Sama seperti Frans, dia kehilangan kontak dengan gadis itu selepas kelulusan SMA. Meski begitu, sesekali Gracia berharap bisa bertemu lagi dengannya.

 "Jujur aja, aku udah nyadar kalo kamu itu suka sama aku. Sikap kamu nunjukin itu semua. Mungkin, kalo kamu nyatain perasaan kamu lebih dulu daripada 'dia', aku bakal nerima kamu, Frans," lanjut Gracia terdengar serius.

 Frans kembali memandang tak percaya pada Gracia. Ingatannya mengalir ke masa lalu, saat dia berusaha menarik perhatian Gracia, mengaguminya, memendam perasaan yang selalu tertahan untuk diungkapkan. Hingga akhirnya berujung penolakan.

with you (greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang