Shani membukakan pintu kamar, mempersilahkan sang istri untuk masuk lebih dulu. Setelah memasuki kamar yang ia tinggalkan hampir sebulan lamanya itu, Gracia langsung menuju pintu balkon dan menghilang di baliknya. Sementara Shani, menyusun barang-barang mereka.
Hanya enam hari Gracia dirawat di rumah sakit setelah kesadarannya dari koma. Gracia terus merengek untuk cepat pulang ke rumah. Untungnya dari pemeriksaan Desy yang terakhir, istri Shani itu sudah diperbolehkan untuk pulang. Dengan catatan, dia tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan berat.
Setelah semua barang tersusun pada tempatnya, Shani menyusul sang istri. Tak lupa ia juga membawa selimut dan dua gelas susu coklat hangat yang dimintanya pada Anin sebelum masuk kamar. Semilir angin malam langsung menyapa kulit Shani yang hanya memakai kaos hitam lengan pendek.
Shani menghela napas melihat Gracia bersandar pada tembok pembatas, memandang lurus pada langit malam yang cukup cerah, sedikit berawan. Meletakkan bawaannya di meja, Shani perlahan mendekati Gracia, menyusupkan dan melingkarkan kedua tangannya di perut sang istri.
"Rautnya serius banget. Sampai gak nyadarin aku segala. Apa yang kamu pikirin, hum?" tanya Shani yang sudah dengan nyamannya menyuruk di ceruk leher Gracia.
"Banyak."
"Boleh bagi ke aku?"
"Boleh. Tapi ntar lagi, ya. Lagi nyaman banget nih. Kangen didekap kamu kayak gini," balas Gracia menyandarkan tubuhnya sepenuhnya pada Shani.
Shani semakin mengeratkan dekapannya, diselingi kecupan-kecupan di ceruk leher Gracia. Cukup lama mereka menikmati kedekatan ini, setelahnya, Shani membawa tubuh sang istri mundur perlahan. Duduk di bangku duluan, kemudian baru mendudukkan Gracia di pangkuannya. Tak lupa ia menyelimuti tubuh mereka dengan selimut.
"Minum dulu gih, susunya. Mumpung masih anget," suruh Shani.
Gracia menurut, menjangkau dua gelas dan memberikannya satu pada Shani, "Kamu juga harus minum."
"Iya, iya."
Shani menghabiskannya dalam sekali minum, sementara Gracia hanya minum seperempatnya. Dia menunduk dan terdiam sambil masih memegangi gelasnya. Shani pun menyadari ada yang mengganggu sang istri. Diambilnya gelas Gracia, kemudian meletakkannya di meja, di sebelah gelasnya yang sudah kosong.
"Oke, sebaiknya kamu mulai cerita. Aku gak suka liat raut kamu yang nyimpen banyak sekali masalah," ujar Shani.
Gracia tak menjawab langsung, malah merapatkan tubuh pada Shani dan menyamankan diri. Shani tentu saja tak bersuara lagi, hanya menunggu Gracia untuk memulainya dan tetap membuat nyaman sang istri.
"Aku mau cerita tentang penyakitku," ujar Gracia setelah terdiam cukup lama, "Tapi sepertinya kamu sudah tau."
Gracia menghela napas ketika tak ia dengar balasan dari Shani. Dia tidak bisa melihat raut wajah istrinya itu, tapi bisa ditebak, pastinya datar. Tapi Gracia juga paham, emosi sang istri kembali teraduk kala mengingat apa yang terjadi padanya beberapa minggu belakangan ini.
"Aku minta maaf, tak memberi tahumu sebelumnya."
"Shuut, sudah aku bilang, ini bukan salahmu. Jadi, jangan minta maaf. Huuffft, iya aku udah tau tentang penyakit kamu, kalau gak, gak mungkin aku temui orang tua kamu dan bawa Om Naoki dari Kanada," ucap Shani, mengecup mesra puncak kepala sang istri yang menyandar dengan nyamannya di dadanya.
"Apa ada yang mau kamu certain, yang mungkin aku masih belum tau?" lanjut Shani.
"Ada. Tapi sebaiknya aku mulai dari awal aja kali ya... biar kamu lebih paham juga."
"Baiklah, aku dengerin."
KAMU SEDANG MEMBACA
with you (greshan)
Fanfictionbersamamu memberiku arti sebuah keluarga yang tak pernah kurasakan sebelumnya. ini memang tak akan mudah, tapi jika bersamamu, aku yakin semua akan baik-baik saja.