"Ra? Ayo sarapan"panggil Ibu dari meja makan. Ia sudah mempersiapkan banyak makanan, sadar bahwa bukan hanya dirinya dan suaminya di rumah.
Pandangannya terletak pada suaminya yang sudah mendorong kursi hendak pergi. Ia segera menarik tangan suaminya. "Yah, seharusnya kita mendukung Zahra. Dia kembali karena masih mengingat suaminya. Kalo ibu ada di posisi Zahra, mungkin ibu akan melakukan hal yang sama"
Akhirnya Ayah menyerah. Dia menghela napasnya. Memikirkan wanita memang ribet. Ia melihat Zahra yang berjalan pelan ke arah meja makan. Zahra tersenyum.
Ayah menunduk. Bekas tamparan masih ada di pipi Zahra, mata Zahra juga sembab. Gaya Jalan Zahra juga aneh, mungkin kakinya terkena sesuatu saat kemarin ia tampar dengan sangat keras. Ada rasa bersalah di hatinya.
"Ayo, Ra, makan" ibu menarik kursi untuk Zahra. Zahra pun menempatinya. Mereka makan dalam diam.
Setelah selesai, Zahra membantu ibunya membereskan piring kotor mereka.
"Ibu, sudah?" suara Ayah terdengar.
"Belum, Yah"jawab Ibu.
"Cepet, Ayah tunggu di mobil"
Ibu dan Zahra saling berpandangan. Ibu terlihat kebingungan. "Kayaknya Ayah ga ngajakin ibu jalan-jalan, ini juga jam kerja dia. Aneh banget sih ayah kamu"
Zahra hanya tersenyum kecil. Ia mengatur piring-piring ke rak.
"Ra, masih sakit pipi kamu?"
Zahra menggeleng. Ibu segera mengelap tangannya dengan kain kering. Ia memegang tangan Zahra. "Maafin ayah kamu ya, Ra"
Zahra tersenyum. "Ayah ngelakuin ini, ini semua karena ulah Zahra, Bu"
Ibu menghela napas.
"Ibu? Ayo cepet!"
Ibu memutar bola matanya. Ia segera menuju mobil. "Kita mau kemana, Yah?"
"Mana Zahra?"
"Mau ke rumah Ilham?"
Ayah mengangguk pelan. Mimiknya menunjukkan bahwa ia cuek saat menyebut nama Zahra, padahal hatinya berbanding terbalik.
Ibu dengan cepat memanggil Zahra. Zahra pun segera meraih baju-bajunya yang masih rapi di dalam tas. Mereka pun bergegas menuju rumah Ilham.
"Di sana ada Ayahnya Ilham. Dia bisa bantu kamu untuk tinggal sama Ilham"ucap Ayah sambil fokus menyetir.
Zahra hanya memandang lurus. Pikirannya kosong.
***
"Siapa sih, Yah?"
Ilham ikut-ikutan melirik ke arah luar. Ayahnya sangat tidak jelas. Katanya itu tamu penting ayahnya, lalu untuk apa dia disuruh untuk duduk bersama ayahnya?
Akan lebih baik, Ilham pergi jalan-jalan ke taman. Taman di tengah hutan. Taman indah yang menjadi pelabuhan tempatnya bermain bersama sahabatnya.
Sahabat?
Ilham memukul kepalanya. Yang ia ingat, ia mempunyai sahabat. Namun, tidak jelas, benar-benar tidak diketahui apakah sahabatnya cewek atau cowok. Ia hanya mengingat awalan namanya yaitu Ja. Just it!
Ja siapa ya? Jali? Siapa sih?
"Ham? Kamu kenapa? Kok kayak orang bingung gitu?"tanya Ayah Ilham.
"Ini, sepertinya ada yang hi—"
"Assalamualaikum"
Pandangan Ilham terhenti melihat ibu dan bapak yang ia temui di Rumah Sakit. Terlebih dengan gadis kemarin yang datang ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior My Husband (✔)
SpiritualMenceritakan kisah cinta islami Sebagian part diprivate