-Bagian satu-
•••
Tidak ada kata kebetulan disetiap hal yang kita lalui.
•••
A L F I R A - P O V
Gelap. Gue nggak suka segala sesuatu yang berbau gelap. Baik itu gelap warna maupun gelap karena keadaan. Contohnya sekarang aja, jam baru saja menunjukan waktu jam 5 lebih 30 menit tapi gue masih didalam kelas sendirian ngerjain tugas sekolah-oh tentu bel tanda pelajaran berakhir sudah berbunyi sekitar 1 setengah jam yang lalu. Dengan suasana kelas yang sudah sepi dan keadaan di luar mendung mendukung sekali untuk gue merasa cepat-cepat ingin meninggalkan kelas ini.
Tapi baru saja gue mau mengerjakan nomor yang ke 7 dari total 10 nomor soal Fisika, tiba-tiba lampu kelas padam. Gue yang saat itu sendirian cukup kaget, gue langsung keluar melongok ke bawah untuk memastikan apa seluruh sekolah mati lampu, dan ternyata benar. Karena kelas gue dilantai dua otomatis suasana yang tadinya sepi bertambah sepi lagi.
Gue langsung masuk ke dalam lagi dan membereskan semua peralatan tulis gue untuk dimasukan ke dalam tas. Karena sudah nggak memungkinkan bagi gue untuk tetap melanjutkan soal-soal tadi. Baru saja gue berjalan keluar, dari arah tangga gue melihat seseorang yang baru saja muncul, dan berjalan menghampiri gue, maksud gue kelas kita. Karena gue memang sekelas dengan dia.
"Loh, Lo belum pulang Al?" Dia bertanya demikian.
"Ya lo lihat sendiri gue masih disini kan?" Gue menjawab
"Ck dasar, itu si gue tau. Yang lain udah pada pulang belum?" Dia bertanya lagi.
"Udah dari tadi. Lo baru selesai ngurusin OSIS emang?" Gue udah tau sebenarnya, tapi nanya aja.
"Ho'oh nih." dia mengangguk sambil mengambil tasnya yang ada di dalam kelas. Lalu dia mulai mengenakan jaket kesayangannya, ya itu menurut gue gak ada yang dipake sesering itu si.
"Gue turun dulu ya." gue berpamitan terlebih dahulu. Dan turun ke bawah, sambil mengecek ponsel gue yang dari tadi udah berisik notif dari Mama. Gue buka missed call dari beliau, dan menekan tombol hijau untuk menyambungkannya kembali.
"Halo Mah? Bisa jemput aku sekarang gak? Aku udah didepan gerbang." gue memulai. Tapi yang terdengar dominan suara berisik orang-orang dan musik yang jelas muncul dari sound speaker berukuran besar.
"Halloo? Mamah lagi dimana si??"
"Aduh Fir, mama lagi pergi kondangan sama papa. Kamu si dari tadi ditelfon gak dijawab. Emang gak ada temen yang mau nganter?" Suara Mama yang tadi terdengar samar sudah lebih jelas. Mungkin beliau mencari tempat yang jauhan.
"Aduh mah, emang kak Dini ikut juga?" Gue menanyakan kakak gue yang kebetulan sedang ada dirumah.
"Ya jelas ikut, ini kan acara pernikahan temen kakakkmu, anaknya temen mama sama papa juga Fir. Cuma kamu yang gak ikut." Jawab mama dari seberang sana.
"Acaranya masih lama gak ma?"
"Ini udah mau selesai. Emang kamu mau nunggu?" Mama bertanya lagi. Gue menimbang-nimbang. Sebentar lagi maghrib dan kalo lebih lama lagi udah jelas nanti bakalan turun hujan.
"Gak deh mah, aku mau pesen ojek online aja. Udah mau maghrib juga." Tadi gue gak kepikiran buat pesen ojek online sebenernya.
"Yaudah, hati-hati ya fir. Mama juga bentar lagi pulang." lalu terdengar bunyi sambungan terputus. Ck, sudah kebiasaan Mama, pasti selalu memutuskan sepihak.
Kemudian gue membuka aplikasi pemesanan ojek online, namun sebelum itu dari arah samping gue ada suara klakson motor yang udah gue apal bunyinya. Si pengendara lalu membuka kaca helmnya.
"Lo masih nunggu jemputan? Ini udah mau maghrib, lo gak takut apa gimana?" Si pengendara motor itu adalah Genta, dia temen sekelas gue yang tadi bicara sama gue.
"Nggak. Gue mau pesen ojol" gue menjawab.
"Oh yaudah. Hati-hati ya." Genta lalu kembali menjalankan motornya. Namun baru beberapa meter dia kembali lagi. Gue mengernyit. Ini orang mau ngapain lagi?
"Gue anter aja, kasian lo kaya orang ilang." Dia tiba-tiba berhenti di depan gue dan menawari gue untuk ikut, lebih tepatnya nyuruh bukan nawar.
"Gak apa-apa emang? Rumah kita jauhan loh?" Gue tanya lagi, meskipun sebenarnya gue udah mau ngiyain.
"Udah gak apa-apa, searah kan?. Sekalian beramal ngebantu orang susah. Ayo cepet." lalu dia menunjukan cengirannya.
"Oke deh, gue juga gak enak kan nolak bantuan dari orang yang lagi baik." gue menjawab lalu duduk membonceng dibelakang.
"Haha mumpung kan, udah?" Genta bertanya lagi.
"Udah udah, ayo jalan." gue berkata seperti itu sambil menepuk pundak Genta. Genta mulai menyalakan motornya dan mengantar gue pulang. Untung hari udah mulai malam, dan murid yang tersisa disekolah ada didalam semua. Karena udah pasti, kalo ada yang tau gue dianterin Genta, siap-siap aja besok jadi bahan nyinyiran warga sekelas.
Diperjalanan kita banyak ngobrol. Lebih tepatnya gosipin orang. Gue kira cuma cewe doang yang suka nyinyir, eh diem-diem Genta juga.
"Eh nggak apa-apa emang lo nganterin gue Ta?" Gue penasaran.
"Ya nggak apa-apa lah, kenapa emang?"
"Nggak apa-apa juga." gue berucap sama.
"Lo kali yang apa-apa." Genta membalikan pertanyaa.
"Kenapa apa-apa?" Gue bingung.
"Enggak jadi." Genta cuma berkata demikian. Gue menghela nafas. Lalu percakapan diantara kita pun berhenti.
Pada saat itu gue cuma pengin ngomong ke dia
"GR ke lo boleh gak si Ta?"
Tentu saja gue gak seberani itu buat ngomong ke dia. Dan pada akhirnya percakapan sederhana kita yang terjadi pada sore hari itu menjadi boomerang tersendiri bagi gue untuk kedepannya.
Tbc.
Revisi : 7.54 AM | Senin, 4 Maret 2019 | 870 words.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIGURAN (END)
Teen FictionSelain menggambar, warna biru dan Hari Sabtu, hal lain yang Alfira sukai adalah menjadi sahabat seorang Genta. Sesederhana itu, sampai Alfira tahu bahwa hatinya sendiri berkata lain yang menjadi indikator bahwa dirinya sudah masuk pada batas terlara...