43

1.2K 147 9
                                    

-Bagian Empatpuluh Tiga-

Seberat apapun sebuah masalah terkadang dapat selesai hanya sesederhana dengan kata-kata, kejujuran, dan kepercayaan.

🍁🍁🍁

"Seminggu cukup nggak ngilangin ini semua?"

Gita menoleh memandang Alfira yang sedang duduk di kasurnya dan memeriksa wajahnya sendiri di cermin. Alfira kini sudah terlihat lebih manusiawi daripada 3 jam yang lalu. Jantung Gita rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat keadaan sahabatnya tadi sore. Pemandangan tersebut seperti 3 tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di kelas 8. Hanya saja waktu itu ia menemukan Alfira sedang menangis tersedu-sedu ketakutan, badannya bergetar ditambah udara malam yang dingin. Beda dengan hari ini, meski ia melihat Alfira tampak sudah baik-baik saja, tapi apa rasa traumatisnya tidak muncul?

"Git?" Melihat sahabatnya itu tidak merespon Alfira menoleh, ternyata Gita sedang melamun. Alfira mendesah, ia meletakan cermin yang dipegangnya ke kasur lalu berdiri berniat menghampiri Gita.

"Ngelamunin Bayu lo?" Gita akhirnya memandangnya, tapi ia langsung berdiri dari duduknya dan berniat memapah Alfira untuk duduk lagi.

"Kalo mau sesuatu ngomong aja, nanti gue ambilin." Kata Gita khawatir. Alfira mendorong tangannya pelan dan mendesah lebih keras.

"Gue gak papa, lihat," Alfira berdiri dengan hati-hati, lalu berjalan ke sana kemari dengan kakinya meski terpincang-pincang. Gita mendecakan lidahnya lalu menarik Alfira untuk duduk lagi.

"Lihat kan gue sehat-sehat aja, lagian tadi dokternya juga bilang luka gue ringan. Kaki gue gak sampe patah masih bisa buat jalan, buat nendang lo nanti waktu tidur juga pasti bisa." Alfira terkekeh mengingat kebiasaan tidurnya yang seperti kincir angin.

"Lo gak mau pulang aja? Terus nanti ceritain semuanya ke tante sama om di rumah? Sampai kapan lo mau sembunyiin hal kayak gini sih Al? Orangtua lo berhak tau kalo anaknya ini udah dua kali dibully dan hampir luka parah." Gita berkata pelan tidak bermaksud menghakimi keinginan Alfira. Mereka sekarang ada di rumah Gita, memang Alfira sudah berencana menginap di rumah sahabatnya itu untuk 1 minggu ke depan sejak kemarin. Orang tuanya juga tidak keberatan.

Alfira tahu Gita sangat mengkhawatirkannya, jika Gita saja sampai seperti ini bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti apabila tahu putri bungsu mereka itu diperlakukan seperti ini? Alfira tidak berani membayangkannya.

"Bukannya gue gak mau bilang sama mereka, gue gak mau mereka sampai khawatir bahkan paling parahnya panik terus nanti masalah jadi tambah runyam kalo sampai mereka lapor ke pihak sekolah. Lo tahu kan? Nggak ada orang tua yang menerima anaknya diperlakukan seperti ini. Selain itu kalau mereka tahu, gue yakin gue gak bakalan di izinin ikut pertukaran pelajar." Ngejaga diri di sini aja gak bisa? Apalagi di luar sana? Itu yang akan mereka ucapkan nanti.

"Terus lo mau ngebiarin masalah ini gitu aja? Nggak mau ngelaporin mereka?" Gita bertanya lagi.

"Gue gak ada barang bukti, mau lapor gimana?" Alfira menggerutu.

"Minta bantuan Kak Zenith aja gimana?" Alfira membelalakan matanya, kemudian teringat Zenith juga sedang menyelidiki orang-orang yang membullynya.

"Emang.. gak papa? Kalo gue bilang secara langsung yang ngebully gue siapa dia bakalan percaya?" Alfira bertanya ragu.

"Dengan keadaan lo yang seperti sekarang ini, gue yakin dia bakal percaya. Lo juga gak mau di ganggu lagi kan? Masalah ini harus diselesaikan sebelum mereka berulah lagi." Alfira membenarkan ucapan Gita, hal lain yang membuatnya menginginkan masalah ini cepat selesai adalah agar ia bisa pergi tanpa menjadi seorang pengecut yang kabur meninggalkan masalahnya sendiri.

FIGURAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang