49

1.7K 153 8
                                    

-Bagian Empatpuluh Sembilan-

Semakin ku gores, semakin ku patah, semakin ku ikhlas.

●●●

"Udah selesai Kak?"

Pertanyaan itu dibarengi suara guntur yang memekakan telinga di luar sana, hujan deras sudah turun sejak 1 jam yang lalu dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Alfira menoleh ke gadis di sampingnya, yang kini sedang memfokuskan arah pandangnya ke buku sketch birunya.

"Gimana?" Alfira bertanya sambil memijat tengkuknya yang pegal. Letta selaku yang ditanyai lalu menoleh ke Alfira dan memberinya dua jempol tangan.

"Aku kasih dua jempol, yang satu karena gambarnya keren yang satunya lagi karena usaha kakak yang keren banget." Alfira agak tersipu. Ia berdehem dan melihat gambarnya itu. Kurang lebih dua bulan yang ia butuhkan untuk menyelesaikan gambar ini. Lebih dari 20 lembar kertas yang ia sia-siakan karena rusak oleh kecerobohannya sendiri. Katakan saja, air matanya yang nakal.

"Gak sekeren itu juga." Alfira mendesah pelan. Ia menoleh lagi dan memberikan raut wajah tidak enaknya. "Maaf ya Let, pewarnamu jadi mau abis gara-gara aku pakai."

Letta tertawa pelan, ia tersenyum dengan bangga, "gak apa-apa lah Kak, aku juga masih punya lagi."

"Kapan-kapan aku ganti yang baru ya."

"Boleh." Setelah ucapan Letta, mereka terdiam. Lalu saling memandang dan tertawa apalagi saat melihat wajah masing-masing yang penuh dengan coretan warna.

"Gak Kak, bercanda kok."

"Eh serius loh kapan-kapan aku ganti beneran." Desak Alfira, sebenarnya ia sudah mencari pewarna untuk gambarnya itu, namun beberapa toko yang ia datangi sedang kehabisan stok. Akhirnya setelah Letta beberapa kali memaksa juga, Alfira memakai pewarna milik gadis tersebut.

"Yaudah kalo Kakak maksa aku bisa apa, lumayan juga kan." Alfira memutar bola matanya mendengar penuturan Letta tersebut. Ia kemudian memandang gambar di depannya, merenung beberapa saat dan menghela nafas pelan.

"Gimana Kak? Udah lebih ikhlas apa belum?" Pertanyaan Letta membuat Alfira mendongak lagi, raut wajahnya tidak yakin ia lalu menggeleng pelan dan menutup wajahnya merasa lelah serta malu. Pasalnya beberapa hari yang lalu ia berkata kepada Letta, apabila gambar yang Dira pinta kepadanya itu dapat ia selesaikan, ia juga menjamin perasaannya akan ikut selesai juga.

Dan pada kenyataannya? Sepertinya tidak. Letta bukannya prihatin justru tertawa melihat ekspresi gadis yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua darinya itu.

"Kan aku udah bilang, kakak aja belum berjuang kenapa harus berhenti duluan." Dengan wajah tidak terbacanya Alfira memandang Letta.

"Udah ah gak usah diomongin, aku kan malu." Letta tertawa lagi, bagaimana Alfira tidak merasa malu jika adik lelaki yang ia sukai diam-diam tahu kalau dirinya menyukai lelaki itu? Darimana Letta tahu? Dari buku sketch Alfira dan selembar foto bertuliskan kata-kata di belakangnya. Hanya beberapa kata dan Letta membuat Alfira mengakui perasaannya.

"Let-"

Brakk! 

Suara pintu yang ditutup keras mengagetkan kedua gadis itu, Letta yang tadinya sedang bersiap mendengar Alfira berbicara langsung bergegas keluar. Alfira agak heran, ia pun mengikutinya dari belakang. Di depan kamar Genta Alfira melihat Letta mengetuk pintu dengan keras.

"Genta?" Letta mengangguk tanpa menghentikan ketukannya.

"Kayaknya lagi marah Kak, tadi banting pintunya keras banget." Alfira mengerutkan dahinya, berpikir apa yang kiranya membuat cowok itu semarah ini. Dari tadi ia sampai di rumah ini, Alfira memang belum melihat Genta sama sekali, Letta yang selaku adiknya juga tidak tahu dan mereka berfikir jika Genta sedang pergi keluar.

FIGURAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang