A/n :
Sebelum ke part ini, sebagai penulis dari cerita absurd ini aku mau ngucapin beribu terima kasih kepada kalian semuanya pembaca setia bahkan silent riders/ehehe/ yang sudah baca, vote dan komen di Figuran. Percayalah, tanpa dukungan dari kalian semua aku hanyalah author newbie yang nylempit diantara kepopuleran author-author yang sudah legend.
TERIMA KASIH SEMUANYA YAA. /btw aku bukan manusia bumi yang suka berbasa-basi sana-sini. Maap/
........................................................................-Bagian Empatpuluh Empat-
Dia adalah matahari, kamu buminya dan aku menjadi si bulan. Kami saling mengelilingi, bumi selalu mengelilingi si matahari dan si bulan yang selalu mengelilingi bumi.
🌙🌙🌙
Setelah sehari sengaja meliburkan diri, pagi ini Alfira sudah berangkat sekolah lagi. Keadaannya lebih membaik, meski membaiknya itu sedikit sekali. Ya itu mungkin karena kemarin, dari pagi hingga malam ia hanya rebahan di kasur akibat badannya yang terasa remuk dimana-mana. Untuk digerakan sebentar saja kakinya terasa kaku, apalagi pergi ke sekolah? Alfira menggeleng lemah.
Padahal ia niat sekali pamer di depan cewek-cewek yang membullynya kemarin lusa dengan wajah songong bin bodo amatan miliknya. Namun sayang seribu sayang, mau pamer bagaimana kalau wajahnya saja tertutup rapat masker legenda warna hijau yang harganya dua ribuan.
"Kenapa pake topi di sekolah?" Kepala Alfira sedikit terangkat ke atas tatkala ada seseorang yang menarik topi polos warna hitam milik Gita yang sedari tadi ia pakai. Tanpa menoleh orang itu mencegat jalannya ia dan Gita.
Genta yang mencegat mereka menatap Alfira heran.
"Ini masker juga buat apa?" Alfira hanya menggeleng. Selain malas menjawab, bibir dan rahangnya masih agak sakit untuk berbicara.
"Kenapa kemarin gak berangkat pake alasan yang gak jelas?" Alfira mendesah, Genta yang cerewet memang menyebalkan di telinganya sekarang. Lagi-lagi ia menggeleng saja.
"Lo... sakit?" Tatapan Genta seketika berganti dengan tatapan khawatir. Alfira tersenyum sedikit di balik maskernya. Ia hanya mengangguk.
"Alfira lagi sakit tenggorokan, udah lo diem gak usah nanya-nanya terus." Gita yang tidak sabar mengambil topi di tangan Genta lalu menuntun Alfira berjalan lagi.
"Seben-"
"Ishh." Saat Genta menarik tangan Alfira untuk berbalik lagi, cewek itu sudah meringis kesakitan.
"Ta! Bisa lepasin gak?" Gita tambah geram. Genta pun melepas cekalannya. Ia melihat pergelangan tangan Alfira yang memerah.
"Genta! Disuruh nungguin juga!" Tahu-tahu Dira datang misuh-misuh tidak jelas. Alfira mengangkat bahu tidak peduli. Kebetulan saat Dira sampai Alfira sudah pergi dari sana.
"Ya maaf, aku kira kamu di belakang." Genta tersenyum meminta maaf ke Dira.
"Ya udah ayo katanya ke ruang OSIS dulu."
"Kita ke kelas dulu aja, kam-" Dira cepat-cepat memotongnya.
"Apa? Kamu kan udah di tungguin sama Pak Leon." Dira menariknya, Genta mengalah. Niatnya menyusul Alfira ke kelas pun ia urungkan.
Perdebatan mereka sampai di telinga Alfira dan Gita yang belum berjalan jauh.
"Mereka dari kemarin udah kayak perangko sama surat, nempel terus gak mau lepas. Liat tuh kan," Alfira terkekeh kecil kemudian menoleh ke kanan ke arah dimana Genta dan Dira berjalan ke ruang OSIS. Genta menatapnya juga, Alfira otomatis menunjukan cengirannya yang tentu saja tidak kelihatan. Alfira yang sadar menggeleng bodoh.

KAMU SEDANG MEMBACA
FIGURAN (END)
Ficção AdolescenteSelain menggambar, warna biru dan Hari Sabtu, hal lain yang Alfira sukai adalah menjadi sahabat seorang Genta. Sesederhana itu, sampai Alfira tahu bahwa hatinya sendiri berkata lain yang menjadi indikator bahwa dirinya sudah masuk pada batas terlara...