Enam tahun berlalu...
Iya, sudah enam tahun lamanya. Selama itu pula banyak hal yang berubah. Baik itu taman di dekat rumah Alfira, warna cat tembok SMA Pancasila, bahkan sampai perasaan yang dulu pernah ada kini ikut-ikutan menguap begitu saja.
Iya, Alfira kira begitu.
Sampai di suatu siang, pada hari kedua ia menginjakan kakinya lagi di tanah airnya, perihal yang terakhir itu terdengar agak salah. Meski debaran itu sudah hilang, rona merah di pipinya sudah pudar, dan hatinya tidak lagi menghangat kala melihatnya, tapi ada seolah-olah batu bata menimpa kepalanya.
Rasa malu.
Alfira kira itulah yang kini ia rasakan.
"Kenapa?" Alfira seketika menoleh dan menggeleng, kembali menghadap ke sosok manusia yang ada di hadapannya.
"Mau gue panggilin Gentanya ke sini?" Gadis di depan Alfira itu tersenyum sambil memotong wafflenya. Sebagai respon, Alfira hanya mengedikan bahunya tidak terlalu peduli, meski ia berharap temannya itu hanya bercanda.
"Kayaknya lo harus pindah ke meja sebelah deh Al, dia udah keburu liat gue dan lagi jalan ke sini. Lo belum mau ketemu dia kan?" Gita yang sedari tadi dengan Alfira itu memberi usul. Alfira menurut saja, toh ia memang belum ingin bertemu teman lamanya itu.
"Sendirian Git?" Alfira merasa detak jantungnya semakin keras, bukan, bukan karena mendengar suara Genta tapi karena ia takut ketahuan. Tapi, dengan penampilannya yang seperti ini jelas cowok itu tidak mengenalinya.
"Ya, seperti yang lo lihat. Sendirian?" Gita bertanya balik.
"Enggak, sama dia." Alfira tidak berani menoleh ke belakang, sehingga ia tidak tahu siapa yang bersama Genta. Kemudian ia mendengar tawa Gita, "Langgeng lo, nanti malam diajak ke reunian kita kan?"
Genta hanya tersenyum tipis dan mengangguk, setelah itu keadaan hening sampai-sampai Alfira agak gemas ingin membalik badan. Tapi belum sempat ia lakukan, perkataan Genta berikutnya membekukannya.
"Alfira.. dia gak ikut lagi?" Gita otomatis melirik gadis bertopi hitam dan berambut panjang dengan ombre hitam-hijau tosca yang mencolok di kursi sebelahnya. Ia kembali tersenyum lalu menghela nafas. "Lo gak tanya dia langsung?" Makna pertanyaan Gita membuat Alfira ingin menimpuk kepala temannya itu. Tapi Genta menangkapnya lain.
"Lo kan tau, dia gak pernah sekalipun baca pesan dari gue." Gita hanya mengangguk-anggukan kepalanya maklum. Alfira menggigit sedotannya, merasa agak bersalah.
"Dia juga gak ngasih kabar ke gue, terakhir kali cuma titip pesan kayak biasa." Gita tidak berbohong, nyatanya satu minggu yang lalu Alfira memang tidak berniat kembali ke Indonesia. Ia hanya akan menitip pesan kepada teman-temannya seperti biasa. Tapi, tadi malam gadis itu sudah tiba-tiba di depan pintu rumahnya.
"Lo.. gak pengin ketemu dia?" Gita bertanya. Genta menghela nafas sambil sesekali melirik ke arah meja yang cukup jauh dari posisi mereka.
"Dari dulu gue pengin ketemu dia, ngobrol lagi sama dia, apa cuma gue yang masih nganggep dia temen?" Genta merenung sendiri, Gita di depannya mendelik.
"Setelah lo tau perasaannya, lo bener-bener masih nganggep dia temen? Lo gak ada sedikitpun rasa apa gitu ke dia?" Gita bertanya lagi dengan nada yang sedikit mengintimidasi. Alfira benar-benar ingin menengok melihat bagaimana ekspresi Genta.
"Gue.." Sebelum Genta menjelaskan, seorang gadis sudah mendekat ke arah mereka dan menarik lengan Genta. "Ayo A kita pulang."
Gita menoleh memandang gadis tersebut, lalu bergantian ke arah Genta sambil tersenyum seolah-olah mereka tidak baru saja membicarakan hal sesensitif tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIGURAN (END)
Ficção AdolescenteSelain menggambar, warna biru dan Hari Sabtu, hal lain yang Alfira sukai adalah menjadi sahabat seorang Genta. Sesederhana itu, sampai Alfira tahu bahwa hatinya sendiri berkata lain yang menjadi indikator bahwa dirinya sudah masuk pada batas terlara...