Prolog

8.9K 779 141
                                    

Suasana koridor kelas 11 masih cukup ramai meskipun bel tanda pelajaran usai sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu.

Sama seperti murid lainnya yang masih disini, Alfira juga belum memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia duduk di depan kelas bertemankan buku sketch yang bersampul biru miliknya juga sebuah pensil runcing yang baru ia raut tadi siang.

Ah, hadiah pertama dari dia. Senyum Alfira memandang buku sketchnya.

Sedangkan di sisi lain tidak jauh darinya ada kedua sahabatnya yang sedang duduk berhadapan, entah sedang apa tapi mereka terlihat saling melemparkan candaan yang bisa Alfira tebak lucu sekali karena sahabat perempuannya tertawa senang sedangkan sahabat lelakinya lah yang menjadi sebab tawa tadi.

Mereka terlihat sangat bahagia, ah tentu saja pasangan baru mana yang tidak bahagia, batin Alfira lagi.

Entah sudah beberapa ratus kali hari ini ia membatin.

"Jangan diliatin terus Al."

Alfira tahu kata-kata tersebut ditujukan kepadanya, namun ia masih bergeming di tempat dan apabila ia memandang kedua pasangan tadi dengan tatapan pura-pura bahagianya sekarang sudah ia ganti menjadi tatapan sendu.

"Sebentar Ta, sebentar lagi." Alfira menengok ke arah Gita-sahabatnya- yang kini sudah duduk disampingnya.

"Sampai kapan?" Gita memandang Alfira sedih.

Namun Alfira tersenyum dan melanjutkan gerakan tangannya di atas buku sketchnya.

"Jangan tanya itu, mungkin sampai gue bisa gambar mereka dengan sempurna."

Gita hanya memandang sketsa karya Alfira yang masih belum jelas. Gita tahu Alfira tidak bisa atau tepatnya belum bisa menggambar objek kedua pasangan tadi dengan baik. Ia sama sekali tidak pernah meragukan hasil karya sahabatnya tersebut, namun untuk yang satu ini ia sendiri tidak yakin.

Setiap Alfira menggambar mereka, satu tetes dua tetes bahkan lebih air matanya akan turun, akibatnya kertas yang ia gores menjadi rusak dan kemudian hanya bisa ia sobek dan berhenti di tong sampah.

Dan jika ada yang bertanya kenapa gambarnya tidak pernah jadi, ia hanya beralasan,

"Gue terlalu terharu melihat mereka berdua."

Yah, julukan Alfira si pembohong mungkin pantas disematkan kepadanya.

"Kalo udah lelah berhenti ya Al, gue nggak mau liat lo terus-terusan kayak gini." Sorot teduh Gita yang memancarkan rasa iba, kasihan, namun khawatir itu membuat Alfira tertegun kemudian ia dengan ragu mengangguk, meski dalam lubuk hati ia belum bisa mengiyakan keinginan sahabatnya tersebut.

"Doain ya, supaya gue bisa cepet ikhlas."

Gita menepuk bahu Alfira pelan, sampai ia melihat tetes demi tetes air mata sahabatnya itu turun membasahi lagi buku sketchnya, iya, lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Al," panggil Gita pelan.

"Ma..af Git, kayaknya emang gue gak bisa pura-pura lagi buat sok rela, sok ikhlas, sok baik-baik aja setelah semua ini." Alfira meremas kertas yang sudah ia sobek. Dan tanpa daya memeluk Gita yang ada di depannya.

Gita memeluknya, mencoba memberi semangat kepada Alfira yang kini sudah tersedu-sedu dibahunya.

Ia hanya menepuk-nepuk punggung sahabatnya tersebut tanpa banyak bicara lagi.

Karena terkadang, orang-orang di sekitar kita nggak cuma butuh nasihat panjang lebar, tapi juga butuh keberadaan orang yang benar-benar mempedulikannya, yaitu yang susah dan senang mau bersama-sama.

FIGURAN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang