Semangat kembali

2.1K 160 0
                                        


Hari pertama ujian MID semester. Aku masih menatap Anna dengan ekspresi tak percaya setelah mendengar pernyataannya barusan.

"Serius, Ann? Lo nggak bohong?" tanyaku sambil mendekatkan wajah ke arahnya, penasaran.

Anna mendesah sambil memutar bola matanya. "Ya ampun, Nay! Udah keberapa kalinya gue bilang, SERIUS. Semalam Widya sendiri yang bilang ke gue. Dia dan Reyhan tuh cuma temenan biasa. Nggak ada apa-apa."

Aku terdiam sejenak. Lalu, entah kenapa, bibirku perlahan tersenyum lebar. "Kok gue seneng ya?" bisikku sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Anna melirikku tajam. "Nay... jangan bilang lo beneran suka sama Reyhan?" tanyanya dengan nada serius.

Aku mengangguk mantap. "Iya, Ann. Gue suka sama dia. Tapi gue juga bingung... perasaan ini datang tiba-tiba."

Anna belum sempat membalas, ketika tiba-tiba dia menunjuk ke ujung koridor. "Uh, btw... itu dia, Reyhan!"

Aku langsung menoleh dan melihat Reyhan sedang tertawa kecil sambil ngobrol dengan temannya. Entah kenapa, suara tawanya menggema lebih jelas di telingaku, mengalahkan suara-suara lain di koridor. Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Cowok itu memang punya sesuatu yang nggak bisa dijelaskan—ada aura misterius yang selalu bikin aku penasaran.

Tak lama kemudian, aku dan Anna masuk ke ruang ujian. Ternyata kelas kami digabung dengan anak-anak dari jurusan Otomotif 1. Ruangan sudah rapi, dengan bangku-bangku berjejer berpasangan. Aku berjalan menyusuri deretan bangku, mencari namaku di salah satu meja.

Akhirnya ketemu. Di bangku itu tertulis: *Nayang Kartika – Ahmad Saroni.* Aku mengernyit. Saroni? Siapa ya? Kayaknya aku belum pernah dengar namanya.

Anna duduk di deretan tengah. Dia melambaikan tangan saat aku menoleh, lalu kembali fokus mempersiapkan diri. Sementara itu, aku memilih duduk di teras kelas sambil membuka buku paket. Hari ini ujiannya Matematika Keuangan, dan meski aku sudah belajar semalam, tetap saja rasa gugup itu datang. Aku membaca sambil sesekali menghafal rumus, mengingat kembali contoh soal yang pernah dikerjakan.

Bel berbunyi. Tanda ujian dimulai.

Aku segera membereskan buku, menaruhnya ke dalam tas, lalu berdiri dan berbaris untuk mencium tangan pengawas. Setelah itu, aku kembali ke tempat dudukku. Ternyata Ahmad Saroni adalah Roni—teman SMP-ku! Dulu kami beda kelas, tapi tetap sering ngobrol karena satu ekskul.

"Hay Nay, apa kabar? Lama ya nggak ketemu!" sapa Roni ramah.

Aku tersenyum. "Iya, lo tuh sombong banget! Nggak pernah nyapa gue."

Roni tertawa. "Aduh, Nay... jujur ya, gue itu gugup tiap lihat lo. Jadi ya, cuma bisa ngelirik dari jauh," katanya sambil nyengir.

Aku menggeleng geli. "Dasar."

Baru saja kami selesai ngobrol, dua orang siswa datang terlambat. Mereka membuka pintu dan menyapa, "Assalamu'alaikum, Bu!"

Bu Ningsih, guru pengawas kami, langsung mengangkat alis. "Telat lagi? Kemarin telat, sekarang juga telat! Ada alasan apalagi nih?"

Salah satu dari mereka menjawab dengan cengengesan. "Maaf, Bu. Tadi mampir dulu ke warung Bu Sum..."

Warung Bu Sum memang terkenal. Letaknya tak jauh dari sekolah dan sering jadi tempat nongkrong murid-murid, terutama anak-anak Otomotif. Banyak cerita 'liar' tentang warung itu, mulai dari tempat bolos, ngerokok diam-diam, sampai nonton bola bareng.

"Udahlah! Cepat duduk. Jangan banyak alasan," kata Bu Ningsih sambil menggeleng.

Salah satu dari mereka duduk tepat di depan bangkuku. Ia menoleh ke arahku dan menyapa, "Hay Mbak, nama aku Yoga!"

Aku kaget mendengar suaranya. Lembut, seperti suara cewek. Sebelum sempat bertanya, Roni menyahut geli, "Itu Yoga, Nay. Tapi nama aslinya Yanti."

"Ihh, Roni!" protes Yoga, cemberut.

Aku menunduk dan berbisik ke Roni, "Dia itu cewek apa cowok?"

Roni tertawa kecil. "Badan cowok, hati cewek."

Aku melongo, lalu ikut tertawa. Ternyata dunia Otomotif tak sekeras bayanganku. Yoga—meski gaya dan pembawaannya feminin—justru terlihat percaya diri dan diterima oleh teman-teman jurusannya. Aku sempat berpikir, mungkin orangtuanya memasukkan dia ke jurusan Otomotif agar bisa 'kembali ke jalur yang benar.' Tapi nyatanya, jiwanya tetap seperti yang dia inginkan. Dan jujur, aku salut dengan keberanian Yoga menjadi dirinya sendiri.

Ujian berlangsung selama 90 menit. Satu hal yang membuatku heran: anak-anak Otomotif itu ternyata bukan tipe 'nakal' seperti stigma yang selama ini beredar. Mereka malah lucu, konyol, dan nggak jaim.

Ada satu cowok di pojok belakang yang sempat bikin satu kelas nyaris tertawa saat dia membuka HP dan mulai browsing soal ujian. Tapi bukannya menyalin jawabannya ke lembar jawaban, dia hanya menatap layar. Lalu... malah mencontek dari temannya!

Waktu ditanya kenapa dia nggak nulis jawaban dari hasil googling, dia menjawab polos, "Gue takut Bu Ningsih curiga. Mendingan contek dari orang aja deh."

Astagaaa. Aku sampai menahan tawa sambil tutup mulut. Bahkan dalam mencontek pun dia mikir strategis. Gokil!

Jam menunjukkan pukul 11 siang saat ujian selesai. Aku dan Anna keluar ruangan bersama-sama. Sinar matahari cukup terik, tapi angin sepoi-sepoi membuat suasana jadi tenang. Kami berjalan menuju gerbang sekolah, obrolan kami ringan dan santai. Di antara celotehan, mataku menangkap sosok Reyhan berdiri sendiri di dekat gerbang.

Dia tampak tenang, bersandar pada motor bebek hitamnya. Tangannya memasukkan ponsel ke saku setelah membaca sesuatu. Sesaat mata kami bertemu—hanya sepersekian detik—lalu dia tersenyum tipis. Aku cepat-cepat memalingkan wajah, jantungku seakan melompat.

Di sisi lain, aku melihat Widya—sepupunya Anna—berjalan pulang bersama teman-temannya. Jelas bukan bareng Reyhan seperti dugaanku kemarin.

"Lihat kan, Nay?" bisik Anna di sampingku. "Gue nggak bohong."

Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, Ann. Makasih ya..."

"Semoga lo beneran jadian ya sama Reyhan," kata Anna sambil mengedipkan mata jahil.

Aku hanya mengangguk, menatap Reyhan dari kejauhan. Ada harapan kecil yang tumbuh hari ini. Bukan hanya soal dia dan Widya yang ternyata nggak pacaran, tapi karena aku merasa... mungkin, ada celah untuk aku masuk ke dunia Reyhan. Meskipun masih jauh, dan mungkin sulit, tapi setidaknya aku tahu sekarang—aku bukan cuma suka sama dia. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

Dan semoga... Tuhan setuju.

***

Me and Mr. XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang