KI(Awal kedekatan)

1.5K 133 1
                                        


Kami makan dalam keadaan hening. Angga tampak menikmati makanannya dengan lahap, seolah lupa kejadian canggung di depan pintu kafe tadi. Sesekali dia mengunyah sambil melirik ke arahku, tapi tak berkata apa-apa.

Aku sendiri melanjutkan makan sambil sesekali menyeruput jus alpukat yang kupesan. Rasanya manis, sedikit pahit di akhir, mirip seperti rasa perasaanku malam ini—campur aduk.

"Nanti mau jalan-jalan dulu?" tanya Angga tiba-tiba.

Aku kaget, mataku melebar seketika. "Hah? Jalan-jalan?"

"Keliling kota Jogja!" sahutnya sambil tersenyum lebar.

Aku mengangguk

Siap! Aku akan lanjutkan dan poles naskahmu dengan gaya aslimu: ringan, lincah, dan naratif khas remaja. Aku akan gabungkan bagian ini agar total mencapai 1000 kata lebih, tetap dengan sentuhan emosional tapi tidak mengubah gaya bahasamu. Berikut versi revisinya:

---

Kami makan dalam keadaan hening, Angga tampak menikmati aksi makannya. Sepertinya dia juga melupakan kejadian tadi di depan pintu Cafe. Aku kembali menyendokkan makanan ke dalam mulutku, lalu menyeruput jus alpukat yang tadi kupesan.

"Nanti, mau jalan-jalan dulu?" Tanya Angga tiba-tiba.

Aku menoleh, sedikit melebar mataku. Kaget juga sih.

"Kemana?" Tanyaku sebiasa mungkin, padahal deg-degan.

"Keliling kota Jogja!" Ujar Angga enteng.

Aku mengangguk setuju, "Yaudah, boleh!"

Angga tersenyum lalu mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya, "Boleh gue minta nomor lo?"

Dia menyodorkan ponsel ke arahku. Aku sempat ragu, tapi akhirnya kuambil juga ponsel itu.

"Pin-nya?" Tanyaku, mau buka layar tapi ke-lock.

Angga menoleh sebentar, lalu sambil tetap makan dia bilang, "Coba ketik tanggal lahir lo."

Aku menaikkan alis. Iseng-iseng, kutekan tanggal lahirku. Dan... *klik!* Ponsel itu kebuka.

Aku langsung melotot kecil, "Lah, bisa?"

Angga cuma senyum tanpa menjawab, masih ngunyah. Aku mikir, jangan-jangan tanggal lahir kita sama? Atau... emang dia atur tanggal lahirku jadi pin?

Selesai nginput nomor, aku balikin ponselnya. Kami lanjut makan, suasana mulai cair.

Setelah selesai makan, Angga berdiri dan bayar semuanya. Aku ngikut dari belakang, masih ngerasa nggak enak. Tapi mau gimana, aku juga nggak bawa uang.

"Yuk, jadi kan?" Tanya Angga sambil menggenggam tanganku tiba-tiba.

"Ja... jadi!" Kataku sedikit gugup. Rasanya aneh, tapi nggak nolak juga.

Angga senyum, lalu mengacak rambutku pelan. Kami pun jalan menyusuri trotoar kota Jogja malam ini. Meski malam sudah larut, tapi Jogja malah makin ramai. Jalanan penuh cahaya lampu dan suara tawa orang-orang. Suasananya hangat, tapi udara dingin bikin aku merinding.

Aku ngerasa tangan Angga dingin, aku lepas genggaman tangannya.

"Lo pakai hoodie lo aja ya, Ngga. Cuacanya dingin!" Kataku sambil mau buka hoodie yang kupakai.

Tapi Angga buru-buru menahan, "Nggak usah, Nay. Gue nggak mau tubuh lo terekspose. Gue nggak suka itu."

Aku sempat kaget, tapi juga senyum kecil. "Tapi lo kedinginan kan?"

Angga balas senyum, "Gue udah biasa."

Aku nggak kehabisan akal. Aku ambil tangannya dan mulai menggosok-gosok perlahan biar hangat. Angga diam aja, malah senyum-senyum.

"Bukan gitu cara ngangetin gue," katanya tiba-tiba.

"Hah? Terus gimana?" Tanyaku heran.

Belum sempat aku pikir, dia langsung narik tubuhku dan memelukku. Wajahku nempel di lehernya. Aku bisa cium wangi parfumnya, lembut tapi bikin nagih. Pipi dia nempel di keningku. Aku diem, tapi senyum kecil juga muncul di bibirku.

Beberapa detik kemudian, Angga melepaskan pelukannya. Dia menatapku lagi.

"Mau minum teh poci nggak?" Tanyanya sambil nyengir.

"Boleh, dimana kedainya?" Aku celingak-celinguk, nyari.

Angga nggak jawab. Dia cuma genggam tanganku dan ngajak jalan ke sebuah kedai di pinggir jalan. Kami duduk di luar, tempatnya nggak ramai tapi cozy. Angga berdiri buat pesen, dan tak lama kemudian dia datang bawa dua gelas teh poci dan sepiring jadah bakar.

Langit malam terlihat gelap, tapi bintang-bintang keliatan jelas. Bulannya juga terang banget, khas langit Jogja. Aku menyeruput teh pociku, sementara Angga langsung gigit jadah bakarnya.

"Ternyata lo itu orangnya doyan makan, ya?" Tanyaku sambil nyengir.

Angga ngangkat satu alisnya. "Emang gue paling suka makan!"

"Pantes! Besok lo nyari istri harus yang jago masak tuh!" Kataku sambil ngeliatin jadah bakar.

Angga cuma ketawa. Aku pun ikutan cobain jadah bakarnya.

"Lo bisa masak nggak?" Tanya Angga.

Aku mikir sebentar, lalu jawab, "Bisa, kalo masak air doang!" Lalu aku ketawa.

Angga senyum, "Nanti belajar ya, siapa tau lo yang jadi istri gue!"

Aku langsung berhenti ketawa, menatapnya heran.

"Ya iya lah, nanti gue belajar masak. Masa iya suami sama anak gue nanti yang masak pembantu rumah tangga?" Kataku lanjut gigit jadah bakar lagi.

Angga nyengir, "Ternyata lo orangnya rame ya?"

Aku menaikkan alis, "Lah emang menurut lo gue orangnya gimana?"

"Cuek. Jutek. Jarang senyum. Dan kelihatan galak."

Aku nyengir, "Kayak lo nggak aja! Jujur ya, dulu gue tuh benci banget sama lo!"

"Kenapa?" Tanya Angga, heran tapi santai.

"Soalnya lo ngeselin, songong, dan sok keren!" Kataku ketus.

Angga malah ketawa lepas. "Tak kenal maka tak sayang, Nay. Mulai sekarang lo harus kenal gue biar bisa sayang!" Ujarnya sambil ngedipin sebelah mata.

"Dasar genit!" Aku nyubit lengannya.

"Udah berani nyubit ya?" Godanya.

"Kata lo tadi tak kenal maka tak sayang. Nah gue itu orangnya jahil, jadi siap-siap buat gue jahilin!" Kataku sambil senyum nakal.

Malam itu... aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh pikiran jelekku soal Angga. Yang katanya songong, sombong, dan sok keren. Ternyata nggak kutemukan sama sekali di dirinya malam ini.

Dan mungkin... malam itu adalah awal mula kedekatanku dengan Angga.

---

Me and Mr. XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang