Membuka Hati

431 45 2
                                    

Seharian, aku mengurung diri di kamar. Tidak makan, tidak kuliah, bahkan baju yang ku kenakan masih baju kemarin. Rasanya sakit, bahkan lebih sakit dari apa yang ku bayangkan.

Suara adzan subuh berkumandang. Membuatku, segera mandi dan mengambil wudhu. Nyatanya, lebih baik sholat subuh. Dari pada memikirkan hal yang cuma bisa membuat sakit saja.

Setelah sholat subuh. Aku mengecek jadwal kuliah yang telah tersedia. Mengecek tugas yang di berikan oleh dosen. Untung saja, tugas yang akan di kumpulkan hari ini sudah beres sejak 4 hari lalu.

Hari ini, ada jadwal kuliah pagi. Jadi aku harus bergegas. Kemarin, aku sudah tidak berkuliah. Karena rasanya tidak memungkinkan. Sekarang pun, harusnya begitu. Tapi aku memaksakannya. Aku mengecek ponsel seraya meminum susu yang sudah ku buat.

Banyak sekali panggil tak terjawab dari keluarga, sahabat, bahkan dari Arsa. Lelaki itu menjadi orang yang paling banyak mengirimkan pesan dan menelfonku.

Seharian, aku menghilang. Tanpa kabar juga. Mungkin itu yang membuat mereka bingung. Aku mengunci apartemen. Lalu berjalan keluar dari apartemen.

Sampai di loby, aku bertemu dengan Arsa. Lelaki itu baru saja masuk kedalam loby apartemen. "Nay? Lo gak pa-pa kan?" tanya Arsa khawatir kepadaku.

"Gue gak pa-pa kok," ucapku.

Arsa menatapku, dengan tatapan yang sulit di artikan. "Kenapa?" tanyaku.

"Lo beneran gak pa-pa?" tanyanya memastikan. Aku menggelengkan kepalaku.

Tangan Arsa terulur untuk membuka kaca mata hitam yang ku kenakan. Namun, sebelum itu terjadi. Aku menghentikan aksinya.

"Mau jemput gue kan?" tanyaku, Arsa mengangguk.

"Ya, udah. Ayo," ucapku berjalan lebih dulu.

****

Sampai di kampus, Arsa membukakan pintu mobilnya untukku. "Gue anter ke kelas ya," ucapnya.

Aku hanya menuruti saja kemauannya. Kami berjalan, lagi, dan lagi menjadi pusat perhatian. Apa lagi gengnya Sinta yang menatap sinis kepadaku. Melihat tanganku yang di gandeng oleh Arsa. Aku jadi ingat, sosok Angga.

Dulu Angga sering melakukan itu. Ia sering sekali mengandeng tanganku. Akhirnya Arsa mengantarkan ku ke kelas. Sampai masuk kelas malah. Aku duduk, dan Gita, serta Jelita. Menatapku heran.

"Nanti pulang sama gue lagi, ya," ucap Arsa. Aku hanya mengangguk dan Arsa pun pergi.

Setelah Arsa pergi, Gita dan Jelita berjalan mendekatiku. "Gue gak salah liat? Lo bareng sama Arsa? Lo kesurupan demit mana, Nay?" ucap Gita keheranan.

"Emang salah gue jalan sama Arsa?" tanyaku kepada mereka.

"Ya, gak salah sih. Cuma aneh aja gitu," sahut Jelita.

Aku hanya mengangkat bahuku acuh dan duduk di kursi.

"Eh bentar-bentar kok lo tumben pake kaca mata?" tanya Jelita.

"Lo sakit mata?" ucap Gita menambahkan.

"Enggak elah. Gak pa-pa. Lagi pengen aja," elak ku.

"

Kita kenal udah 3 bulan. Dan gue harap kita bisa jadi sahabat," ucap Gita serius.

"Iya Nay. Lo dari kemarin gak bisa di hubungi. Tiba-tiba lo ke kelas sama orang yang sebelumnya gak lo harapin. Di tambah lo yang pake kaca mata gini. Membuat gue sama Gita yakin, kalau lo sedang gak baik-baik aja," ucap Jelita merinci.

"Maaf ya, gue udah buat kalian khawatir sebelumnya. Nanti gue balakan cerita deh sama kalian," ucapku akhirnya.

Gita mengusap bahuku. "Nah gitu dong," ucapnya. Sebelum Pak Doni masuk kedalam kelas.

***

"Jadi gitu ceritanya," ucapku. Setelah bercerita kepada mereka.

"Gue gak nyangka, mantan lo itu setega itu sama lo," ucap Gita.

"Iya Nay. Gue rasa emang lo harua buka hati lo deh. Buat Arsa misalnya," cetus Jelita.

"Kemarin, Arsa nembak gue," ucapku. Mereka terdiam menatapku.

"Serius?" tanya mereka bersamaan.

"Dan seperti apa yang lo bilang tadi Jel, gue akan lupain Angga, dan membuka hati gue buat Arsa," ucapku.

"So, lo mau doang? Nerima Arsa?" ucap Gita. Aku menganggukkan kepalaku.

"Syukurlah, semoga ini yang terbaik buat lo, Nay," ucap Jelita kepadaku.

Dan aku hanya mengamini ucapan Jelita. Kami mengobrol seperti biasanya. Lalu tidak berapa lama, Sinta dan teman-temannya datang. Mengebrak meja kali.

"Heh! Gue kan udah peringati sama lo. Jangan pernah dekitin Arsa! Lo budek!" seru Sinta kepadaku. Aku menatapnya cuek.

"Gue senior lo disini! Jadi tolong hargai gue!" ucap Sinta kerena merasa di acuhkan.

"Oh ya? Gue harus hormat sama lo? Gini?" ucapku seraya membuat gerakan hormat.

"Sama-sama manusia? Lo bukan jendral. Apalagi pahlawan, gak pantes buat gue hormatin! Jangan sok!" balasku.

"Lo!" ucapnya yang sepertinya sudah emosi. Tangannya terayun untuk menamparku. Namun, seseorang berhasil mencekalnya.

"Lo nampar Nayang gue pastiin lo akan keluar dari kampus ini," ucap seseorang itu.

"Sa, dia yang tadi mau menamparku," ucapnya seraya bergelayut manja pada lengan Arsa.

Arsa melepaskan tangan Sinta dari lengannya. "Jangan pegang gue!" ucapnya.

Hal itu mampu membuat kedua bibir Sinta mengatup diam.

"Pergi lo dari sini," ucap Arsa. Dan dengan raut wajah yang kesal dan malu, Sinta dan teman-temannya pergi dari kantin.

"Nay? Lo gak pa-pa?" tanya Arsa.

"Iya. Gue gak pa-pa," jawabku. Arsa tersenyum, lalu mengusap keringat di keningku.

"Pulang yuk," ajaknya. Aku pun mengangguk mengiyakan ucapan Arsa.

Arsa mengandeng lagi tanganku. "Have fun, Nay," ucap Gita dan Jelita.

Aku hanya membalas ucapan mereka dengan senyuman.

****

Sejak saat itu, aku semakin dekat dengan Arsa. Dia selau menemani hari-hariku. Hingga tiba saatnya. Arsa kembali mengutarakan perasaannya.

"Lo mau jadi pacar gue?" tanyanya.

Kali ini, aku menganggukkan kepalaku. Mengiyakan ucapannya.

Arsa langsung memelukku. Aku seperti memeluk sosok yang pernah ada dari diriku. Mr. X, yah, aku seperti memeluk Angga kali ini.

Mungkin, aku memang harus membuka hati.

****

Jangan lupa vote comment dan share ke teman-teman kalian.

Maafkuen typo!

Follow IG aky untuk mengetahui kapan aku update @mya.ng04

Follow Juga akun wattpadku



Mayang 😎
13 September 2020
❤️❤️❤️❤️❤️

Me and Mr. XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang