Dengan langkah pelan, aku berjalan menuju kelas. Kaki ku yang kemarin terkilir, kini sudah di gips oleh dokter. Kata dokter, sendi kaki ku sedikit tergeser jadi perlu di gips.
Saat melintasi koriodor, aku melintasi kelas Angga. Lelaki itu ada di depan kelasnya. Pandangan kami bertemu, aku membuang muka. Malas melihatnya, entahlah apa yang kurasakan. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Kecewa? Yah semacam hal itu juga kurasakan.
Kemarin, ketika Revan mengendong tubuhku. Angga tak menghiraukan keadaan ku. Lelaki itu malah sibuk dengan Cantika. Yang mmbuat ku bertambah geram adalah, dia yang tak perduli dengan ku. Bahkan kemarin ia tak menanyai keadaan ku.
Aku melintas di depannya cuek, seakan tak pernah mengenal lelaki itu. Sebuah tarikan, menarik tangan ku lembut. "Gue anter ke kelas Nay." tawarnya. Aku hanya diam, dia pikir aku tidak bisa berjalan?
"Gue nggk lumpuh, gue bisa jalan sendiri!" ujar ku tanpa maj menatap Angga.
"Nay gue-"
"Gue nggk perduli lo mau ngomong apa. Terserah lo." potong ku cepat, saat akan melangkah lagi, Angga menarik tanganku kembali.
"Bukan git--"
"Lo tuh kenapa sih Ngga? Lo dendan apa sama gue? Lo buat gue cinta sama lo! Tapi lo juga buat sakit hati gue! Kalau tujuan lo mau buat gue hancur. Selamat lo berhasil." potong ku lagi. Aku pun pergi dari hadapannya.
"Maksud lo apa?" tanya Angga, membuat langkah ku terhenti.
"Menjauh dari kehidupan gue!" seru ku, menekan setiap kata yang ku ucapkan.
Aku melanjutkan langkah ku, "bukan gitu maksud gue Nay." entah salah dengar atau bagaimana, yang jelas aku mendengar kata itu keluar dari mulut Angga.
Tapi tak ku hiraukan, aku masih melangkah agar sampai di kelas. Di kelas masih sepi, aku duduk di kursi ku. Tak terasa air mata jatuh dari kedua mata ku.
"Kenapa? Kenapa gue benci dengan perubahan sikap lo?" gumam ku, sebelum banyak yang datang ke kelas. Aku pun mengusap air mata ku, dan memilih untuk membuka buku.
***
"Nay! Kanti yuk!" ajak Elsa. Yang berjalan menghampiri ku.
"Eh Nay, kaki li parah banget ya? Sampai di Gips?" tanya Panji yang duduk di atas meja ku.
"Kata dokter, sendinya agak bergeser." jawab ku.
"Nay ayo kanti!" ajak Elsa lagi.
Sebenarnya aku malas ke kantin. Pasti nanti di kantin bertemu dengan Angga. Mengingat hubungan ku dengan Angga tidak dalam keadaan baik.
"Nay kok ngelamun?" tanya Elsa.
"Eh Elsa! Lo tahu kaki Nayang kan lagi sakit. Kasihan woy kalau jalan ke kantin!" seru Panji.
"Ah lo Njing! Katanya sahabatnya Nayang! gendong dong Nayang sampai kantin!" seru Elsa kepada Panji.
Tanpa di duga, Panji berjongkok di depan ku. "Ayo Nay, gue anter ke kantin." kata Panji.
"Eh nggk usah Nji, gue bisa sendiri." jawab ku.
"Ayo Nay, lo kayak sama siapa aja." balas Panji.
"Oy! Ayo ke kantin nanti ke buru Bel masuk lagi!" teriak Elsa dari arah pintu.
Aku pun melingkarkan tangan ku pada leher Panji. Elsa membawa tongkat ku, di koridor kami menjadi pusat perhatian. Tapi kata Panji aku harua cuek aja. Menanggapi omongan mereka semua.
Kami sampai di kantin, aku duduk di salah satu kursi begitu juga dengan Elsa. Elsa memesan makanan, sementara Panji memainkan sendok. Pandangan mataku beralih kepada Angga di ujung sana. Lelaki itu sedang menatap kearah ku.
Aku menyandarkan kepala ku pada bahu Panji. Dengan pandangan lurus menatap Angga. Panji menatap kearah ku, pandangan ku beralih kearah Panji.
"Kenapa?" tanya Panji.
Aku tersenyum sembari mengelengkan kepala. Elsa datang membawa makanan yang kami pesan. Aku menatap binar kearah semangkuk bakso. Kebiasaan buruk ku, adalah jika sedang dalam keadaan kalut.
Semangkuk bakso panas dengan sambal yang sangat banyak mampu sejenak melepaskan beban pikiran ku. Tapi sayang sekali, lambung ku sangat lemah jika berhadapan dengan Sambal.
"Gue boleh duduk sini?" tanya seseorang membuat ku menatap kearahnya.
"Boleh kok bro! Ini kantin tempat umum." jawab Panji santai.
Aku membuang muka ku kesembarang arah. Angga menopang dagunya di depan ku, lelaki itu memandang ku lekat. Aku acuh, aku meyakinkan diri bahwa tidak ada siap siap di depan ku.
"Nay." panggil Angga masih tak ku hiraukan.
Tangan ku mengambil sambal, dengan porsi yang cukup banyak. Saat akan menyendokan kuah bakso kedalam mulut ku. Angga menahannya.
"Nay, jangan itu pedes bangat." lirih Angga memohon kepada ku.
"Lambung lo lemah, apa lagi lo belum sarapan." tambah Angga, aku menaikan satu alis ku ke atas.
"Peduli lo apa?" tanya ku menatap remeh kearahnya.
"Nay, gue-"
"Lo nggk dengar gue tadi bilang apa?" tanya ku. "Menjauh dari kehidupan gue? Kurang jelas?" lanjut ku membuat Angga bungkam.
Aku berdiri, lalu pergi meninggal kan Mereka. Dengan langkah pelan aku berjalan dengan tongkat ku.
"NAY!" teriak Panji, namun tak ku hiraukan.
Aku berjalan, memilih untuk pergi ke koprasi sekolah. Di sana aku membeli roti dan minuman serta makanan ringan lainnya. Aku berjalan menuju Rooftop sekolah. Duduk di atas ayunan sembari memakan apa yang ku bawa.
"Santuy bener kayaknya." cibir seseorang membuatku menatap kearah orang tersebut.
Lelaki itu tersenyum, ia duduk di samping ku. "Kak Alvin?" kata ku sedikit kaget.
Kak Alvin tersenyum, lelaki itu mencomot snack ku. "Kaki lo kenapa?" tanya Kak Alvin.
"Eum, terkilir!" jawab ku seadanya.
"Makanya hati hati!" kata Kak Alvin.
Kami mengobrol, kak Alvin masih sama. Masih seperti dulu, candaan dan juga gombalan khasnya masih sama.
●●●●
VOTE + COMMENT
SEMAKIN BANYAK COMMENT
SEMAKIN CEPAT UPDATE.FOLLOW IG AKU
@mya.ng04.FOLLOW AKUN
WATTPAD KU JUGA.MAAF KUEN TYPO!
MAYANG😎
17 NOVEMBER 2019
❤❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Mr. X
Teen FictionBerawal dari sebuah surat dari seseorang yang menamai dirinya sebagai Mr. X Nayang Kartika, siswi di SMK Lampung. Pandai, dan memiliki beberapa sahabat yang selalu menemaninya. Nayang selalu mendapatkan sepucuk surat, berserta boneka dan beberapa b...