Bab 44

25.1K 1.2K 83
                                    

Don't forget follow ig Alea @aleasykd

Entah ini terlambat atau tidak aku menyesal pernah menyakitimu.

-Vano

“Vin, Vano kemana sih?” tanya seseorang pada Kevin yang tengah berjalan bersama Alea ke ruang guru untuk mengantarkan buku-buku tugas.

Alea tidak tahu siapa cowok yang berpenampilan kurang lebih seperti Vano ini tapi kalimat berikutnya menjelaskan semuanya. “Vano udah dicariin sama anak-anak basket dan pembina, tuh anak kan ketua basket terus juga sebentar lagi bakal ada turnamen,” jelasnya panjang lebar.

“Emang gak bisa lo yang handle?”

“Gue bisa aja sih Vin, tapi takutnya tuh anak ngamuk!” ungkapnya yang merujuk pada Vano.

“It’s okay lo aja yang urus dulu club basket sementara Vano masuk dia nggak bakal marah kok.”

“Yaudah, gue cabut dulu ya,” dia pamit undur diri menyisakan Alea dan Kevin.

“Kira-kira Vano kemana ya Vin?”
Bukannya menjawab, Kevin balik bertanya. “Lo kangen ya?”

“Ha? Ngomong apa sih lo!”

“Kemarin gue mampir ke rumahnya, tapi nggak ada orang rumahnya sepi,” ungkap Kevin yang memang pulang sekolah kemarin dia sempat mampir.

Karena tidak ingin mempepanjang pembahasan Alea segera mengajak Kevin ke ruang guru. Meskipun ia amat penasaran dengan keadaan Vano, demi apapun Alea gengsi mengakuinya. Biarlah waktu yang menjawab kemana Vano sebenarnya.

__

Berbagai macam pertanyaan mulai bermunculan
Tentang kamu yang menghilang tanpa kabar
Aku benci mengakui
Bahwa aku masih mengkhawatirkanmu

Alea merobek kertas tempatnya menulis tadi, ia tidak ingin melanjutkannya lagi. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak begini, seharusnya ia sadar ia bukan siapa-siapa. Alea benci, ia sangat benci dengan situasi seperti ini.

Langkahnya perlahan membawanya ke balkon kamarnya, menarik napas perlahan demi menetralisir perasaannya. Alea terduduk memeluk lututnya, ia merasa sesak, sangat sesak.

Lalu egoiskah ia yang tidak mau lagi mendengar kata hatinya? Atau salahkah ia jika terus menuruti kemauan bodoh hatinya. Satu bulir bening lagi-lagi mengaliri pipi putihnya, bagaimana bisa semenyakitkan ini mencintai orang yang tidak mencintainya.

Alea meremas baju kaosnya meredam emosi yang kini kembali membuncah. Ia bingung dengan hatinya, kenapa sebodoh itu padahal laki-laki itu sudah menyakitinya tanpa ampun. Alea menangis dalam heningnya malam, gemerlapnya bintang, dan semilirnya angin. Harus berapa lama lagi ia seperti ini?

--

Alea berjalan di lorong sekolah sehabis dari perpustakaan karena jam pelajaran telah mulai. Tiba-tiba seseorang menjegal tangannya sampai membuatnya terlonjak. “Kak Davin?”

Akhirnya ia melihat orang ini setelah satu minggu tidak muncul di sekolah, tapi Alea mengurungkan niatnya bertanya apa-apa tentang Vano.

Davin menatapnya sendu, “Apa lo nggak bisa nemuin Vano sekali aja?”
Alea terdiam. Tidak memberi kepastian apapun.

“Sekali aja!” Davin menangkupkan kedua tangannya tanda permohonan.

“Tapi Kak--”

“Vano kangker otak Alea!” potong Davin dengan satu tarikan napas.

Sendi-sendi pada tubuh Alea melemas seketika, bahkan tidak mampu menopang novel yang kini telah jatuh ke lantai. Tidak tidak! Ia yakin ia salah dengar. Vano baik-baik saja ia sangat yakin.

ALEA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang