Bab 46

23.8K 1K 27
                                    

Membela bukan berarti cinta, memberi perhatian belum tentu sayang.

-Kevin-

Sepulang sekolah mereka berniat untuk ke rumah Vano, namun Alea melarang mereka karena takutnya Vano marah. Karena ia tahu pasti seberapa keras Vano menutupi penyakitnya itu. Tapi karena Alea juga sadar ia tidak berhak melarang teman-temannya untuk melihat keadaan Vano.

Mereka semua menunggu di ruang tamu, sementara Mama Vano memanggil anaknya. Davin pun sudah ikut bergabung bersama mereka.

Vano turun dibantu Mamanya, kali ini ia tidak memakai kursi roda rasanya tenaganya tidak seperti kemarin sebelum ia bertemu Alea. Vano mengenakan jaket merah dan topi kupluk hitam matanya terlihat sangat sayu.

“Lucu ya rasanya,” Vano tersenyum pahit mengucapkan kalimatnya karena melihat tatapan iba dari teman-temannya.

“Kenapa lo diam aja selama ini?” Kevin angkat bicara.

“Harusnya lo cerita Van, kalo lo masih anggap kami teman lo,” imbuh Tama.

Vano mendengus geli dan duduk di sofa, “Harusnya kalian mengerti.”
Semuanya bungkam, tidak ada yang membuka suara semuanya canggung. Ada yang memilin jari, ada yang larut dalam pikiran sendiri dan ada yang menunduk terdiam. Sampai pada akhirnya Shinta-Mama Vano datang membawa minuman dan camilan.

Tama berterimakasih pada wanita yang sudah menginjak kepala empat itu. Baru dua kali ia bertemu Mama Vano, pertama saat Vano mengambil raport dan untuk pertama kalinya Mamanya datang. Dan kedua sekarang, dimana saat ia menjenguk Vano. Tama tahu dengan pasti masalah keluarga ini, tapi ia tidak ingin ikut campur karena ia tahu Vano akan sangat membenci hal tersebut. Beda halnya dengan Kevin yang sering melihat Mama Vano dulu ketika mereka SMP. Sahabat Vano yang paling dekat memang Kevin karena dari SMP mereka sudah saling mengenal.

Memecah keheningan Davin berdehem, “Pada minum dulu gih!”

Tanpa sepengetahuan Alea, Vano mencuri-curi pandang pada gadis itu. Terukir senyum pahit di bibirnya yang mulai pucat. Ia berada dekat sekali, tapi Vano seakan tidak bisa menjangkaunya. Betapa bodohnya dia pernah menyia-nyiakan gadis yang kini melamun di hadapannya.

Tes tes tes.
Setetes demi setetes darah mulai mengucur dari hidungnya yang membuat semua panik melihatnya. Vano menaikkan alisnya dan tersenyum miring melihat darah yang mengenai tangannya. Ia langsung mengambil tisu yang disodorkan Davin kepadanya dan menyumpal hidungnya dengan santai seakan ia tidak merasa sakit atau apa.

Vano menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa yang didudukinya sambil menengadahkan wajahnya agar darah berhenti mengalir.
“Lo harus dirawat di rumah sakit Van!” tiba-tiba Alea berseru yang membuat Vano lagi-lagi menaikkan satu alisnya.

Heran Alea dengan cowok keras kepala dihadapannya ini, mengapa ia sangat santai padahal orang-orang disekitarnya mati khawatir. Oke istilah ini terlalu berlebihan, tapi setidaknya begitu yang dirasakan Alea.

“Nanti ada saatnya,” jawabnya enteng.

“Kapan?!” nada suara Alea mulai terdengar meninggi namun bergetar.
“Mau sampai kapan lo keras kepala kayak gini? Lo harus ditangani Vano!”

“Gue baik-baik aja Alea.”

“Lo bisa bilang itu ke semua orang, tapi lo nggak bisa bohongi diri lo sendiri kalau lo merasa tersiksa!”

Vano diam dan memasang wajah datarnya, suasana kembali tegang. “Maaf—”

“Sorry gue cape, mau istirahat.” Vano memotong ucapan Alea, ia agak kesal kenapa semua orang seolah kasihan padanya. Itu juga merupakan salah satu hal yang dibenci Vano. Kemudian ia berjalan ke arah kamarnya dengan gontai.

ALEA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang