“Alea.” suara seseorang tiba-tiba membuat langkah Alea terhenti saat akan menuju perpustakaan.
Alea berbalik dan menemukan sosok Leo yang belakangan ini jarang terlihat sudah menjulang di depannya. Dengan senyum manis yang memang tak pernah lepas dari wajah cowok itu.
“Apa kabar jawaban pertanyaan gue?” lidah Alea kelu. Apa yang harus dikatakannya. Ia tidak ingin membuat Leo kecewa, tapi tidak ingin juga memaksa perasaannya.
Leo mendengus geli melihat ekspresi Alea. “Gue becanda. Kita bisa ngomong sebentar di tempat biasa?”
Suasana masih hening ketika mereka sudah sampai di tempat biasa mereka bicara. Tidak ada yang mau memulai. Sebenarnya bukan tidak mau tapi, sama-sama tidak tahu harus memulai darimana.
Leo berdehem untuk mengisi keheningan di antara ia dan Alea. “Sebenernya gue menanti jawaban lo, Alea. Gue nyaman banget sama lo, rasanya selalu menyenangkan deket lo tapi, setelah Farah kembali rasanya gue nggak mau kehilangan dia lagi.”
“Jadi?” tanya Alea sembari bangun dari duduknya, lalu menghampiri Leo yang sudah berada di pembatas gedung.
“Gue emang nyaman sama lo Lea, gue suka sama cara berpikir lo tapi kayaknya ini hanya kekaguman gue sama lo.”
Pandangan Leo masih lurus ke depan. “Maaf kalo gue sempat nyatain perasaan gue sedangkan gue masih ragu sama perasaan gue sendiri. Alea masalah perasaan ternyata nggak semain-main itu.” Leo menepuk halus puncak kepala Alea.“Gue berhenti ya Alea perjuangin lo, karena yang seharusnya gue perjuangin adalah sahabat gue yang gue bikin kecewa bertahun-tahun. Dan yang harus perjuangin lo adalah Vano. Terimakasih pernah buat gue singgah.”
“Gue lega banget malah lo ngomong ini Kak, karena Farah masih harapin lo.” Alea merasa terharu kali ini. Saat Vano kembali, mereka seperti diberikan kesempatan untuk semakin dekat. Salah satunya dengan perasaan Leo yang kini sudah mantap untuk tidak lagi berjuang untuknya.
Kening Leo mengkerut pertanda ia bingung. Benarkah Farah masih berharap pada orang yang tidak tahu diri seperti dirinya. “Apa selama ini Farah pernah cerita tentang cowok?”
“Nggak.”
Jawaban Alea membuat rasa bersalah Leo semakin dalam, jika Farah tidak pernah bercerita tentang cowok pada teman dekatnya itu artinya bisa jadi ia memang tidak bisa melupakan Leo.Leo masih saja tenggelam dalam pikirannya ketika ia berada di dalam kelas. Lalu akankah ia akan menyia-nyiakan orang yang selalu tulus padanya. Sesak rasanya mengingat wajah kecewa Farah beberapa tahun lalu.
Setelah lama larut dalam pikirannya, bel pulang sekolah membuatnya tersadar dan bergegas merapikan peralatan sekolahnya.
“Woi, buru-buru amat lo!” tegur Davin melihat Leo yang biasanya santai.
“Mau perjuangin belahan hati!” sarkasnya yang malah membuat Davin terbahak. Namun beberapa detik selanjutnya ia sadar.
“Leo please, Vano butuh Alea.”
“Siapa yang bilang Alea coba. Bukan Alea, tapi temennya Alea! Udah ah gue cabut buang-buang waktu aja lo.”
Davin masih bergeming di tempatnya. Temannya Alea yang mana pikirnya, setelah itu sahabat Leo dari SMP yang juga teman kelasnya--Deri menghampiri Leo.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEA (COMPLETE)
Teen FictionKetika aku menemukanmu dunia ku berubah begitu saja entah magnet apa yang ada dalam dirimu yang jelas aku mencintaimu