Alea berjalan di lorong rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Ia segera menuju ke ruangan Vano tak lupa ia membawa bunga lavender yang ia beli di perjalanan tadi.
Tapi, tunggu... ada apa ini. Alea bingung melihat dokter dengan raut wajah panik masuk ke ruangan Vano. Bahkan tidak hanya satu, tapi beberapa dokter dengan perawat yang berlari dengan panik membawa banyak alat.
Alea terus mempercepat langkahnya agar tahu sebenarnya apa yang terjadi. Ia lalu masuk ke ruangan itu dan di pojok sana ada Davin dan Tante Shinta sedang menangis di pelukan Davin. Gadis itu semakin masuk ke ruangan itu. Ia melihat para dokter itu sibuk dengan Vano membuat Alea bingung melihatnya.
Ada yang memeriksa denyut nadinya, ada yang mengecek detak jantungnya, ada pula yang sedang memberikan alat pemacu detak jantung yang membuat dada Vano naik-turun. Setahu Alea alat itu akan digunakan pada saat pasien sedang kritis.
Ia mencoba bertanya pada Shinta dan Davin, namun tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Ia mendekat ke arah ranjang Vano dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Ia lagi-lagi mencoba bertanya pada salah satu perawat. Namun perawat tersebut menyuruhnya tetap tenang. Ia terus menggenggam erat bunga yang ada di tangannya.
“Detak jantungnya semakin melemah, Dokter!” ucap perawat laki-laki yang tadi ikut mengecek detak jantung Vano pada monitor.
Ditempatnya Alea menegang dengan nafas yang sudah tidak beraturan. Tidak! Vano tidak akan meninggalkannya kali ini.
"200 joules!" Perintah dokter tersebut membuat perawat yang sedang memegang defibrilator mengangguk. "Clear."
"250 joules! Clear."
Sampai beberapa menit kemudian hanya suara nyaring dan garis lurus yang terlihat dari monitor detak jantung itu yang membuat sendi-sendi Alea mati rasa. Bunga lavender yang dipegangnya terjatuh di lantai. Ia menggeleng kuat, “VANOOO!!!”
“Sayang bangun!”
Alea terduduk dengan keringat yang sudah membanjiri tubuhnya dan dengan isakannya. Di dalam hatinya ia masih bersyukur bahwa itu hanya mimpi buruk. Ia terisak dalam pelukan Mamanya, rasanya mimpi itu sangat nyata. Ia melirik jam dindingnya ternyata masih pukul setengah sembilan malam.
“Alea mau ketemu Vano, Ma.” Pintanya sembari melepas pelukannya.
Dela mengusap wajah anaknya yang dipenuhi keringat dan air mata. Ia mengerti pasti mimpi Alea sangat mengerikan hingga anaknya seperti ini. Sebelum-sebelumnya Alea tidak pernah sampai seperti ini.
Ia mengecup puncak kepala putrinya dan mengangguk. “Kamu ganti baju dulu. Kita pergi sama-sama ya.”
--
Untung saja mereka sampai sebelum jam besuk rumah sakit tutup. Air mata Alea tidak berhenti menetes mengingat mimpinya tadi. Begitu sampai ia menemukan Davin dan Shinta disana. Ia memaksa senyumnya walaupun matanya tetap berair. Ia kemudian beralih menuju ranjang Vano yang masih sangat nyaman dalam lelapnya.
Tangan Alea terulur ke wajah Vano, mengelus pipinya yang kian tirus dan pucat dengan ibu jarinya, “Hei, apa kabar?” Alea terus mengusap air matanya yang menerobos ke luar. Ia berjanji pada dirinya akan kuat untuk Vano, namun mengapa sulit sekali rasanya.
“Kapan lo mau bangun? Semua orang kangen sama lo, jangan egois Van!” Alea berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar.
“Sebentar lagi kita naik kelas. Gue mau duduk sama siapa nanti kalo ujian? Vano udah cukup tidurnya....” Alea membekap mulutnya agar isakannya tidak keluar. Ia terus memaksakan senyumnya walaupun sesak yang ia rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEA (COMPLETE)
Teen FictionKetika aku menemukanmu dunia ku berubah begitu saja entah magnet apa yang ada dalam dirimu yang jelas aku mencintaimu