Pukul 12 malam.
Malam ini, Rian ikut menginap bersama Fajar di rumah sakit. Ikut menjaga Acha yang masih belum juga mau bangun dari mimpi indahnya. Biasanya, Bunda Acha yang selalu menjaga Acha setiap malam. Tetapi, Bunda akhirnya ikut sakit karena begadang setiap hari menunggu Acha bangun.
Rian memperhatikan Acha, cewek itu begitu tenang dalam tidurnya. Seakan tidak peduli kalo di luar sini ada begitu banyak orang yang menantikan kesadarannya.
Di sofa, Fajar sudah tertidur. Tetapi Rian sama sekali tidak mengantuk saat ini. Rasanya ia ingin sekali tetap duduk di sebelah Acha dan menyaksikan sendiri cewek itu membuka matanya.
"Cha, bunda sakit tau... Kamu gak kasian?"
Seperti ini lah kebiasaan Rian, selalu ngomong sendiri. Walau Acha tidak akan menjawabnya, tapi ia tahu Acha mendengarnya disana.
"Ada banyak kemajuan, Cha... Bunda baik banget sama saya. Teori-teori mereka tentang calon mertua yang galak akhirnya terpatahkan. Rasanya saya mau pamer ke mereka, calon mertua saya gak galak sama sekali loh."
Rian terkekeh karena ucapannya sendiri, "Apaan sih, calon mertua... Kamu aja belum tentu mau sama saya, hahaha."
Tidak ada jawaban sama sekali dari Acha, dan Rian sudah terbiasa dengan ini. Tak apa, setidaknya perasaannya terluapkan saat ini.
Rian menelungkupkan kepalanya pada lipatan yang ia buat, "Cha, kamu inget gimana kita bisa ketemu dulu? Lucu ya, keujanan di halte..."
"Saat itu saya bener-bener gak tau kalo kamu adeknya Fajar. Kamu manggil saya Bapak Walikota, hahaha. Jujur, awalnya saya sedikit kesel juga waktu kamu panggil saya kayak gitu, karena dengan begitu Fajar jadi punya bahan untuk ngebully saya habis-habisan. Tapi entah kenapa, saya sekarang kangen banget dipanggil kayak gitu sama kamu, Cha."
Cowok itu masih tetap dengan posisi menelungkup, ia berbicara tapi matanya tertutup. Seakan saat ini hatinya lah yang sedang berbicara, bukan bibir.
"Saya belum pernah minta kejelasan ya sama kamu. Saya jadi penasaran, perasaan kamu ke saya gimana sih Cha?" Rian menghembuskan napas beratnya lagi, "Kamu cepet bangun, terus bilang sama saya semua perasaan kamu. Biar saya tau kamu mau atau enggak sama saya."
Setelah mengucapkan itu, Rian tersenyum. "Terserah mau atau enggaknya kamu sama saya, saya gak peduli. Itu urusan gampang. Yang penting kamu bangun dulu sekarang. Kalo kamu belum bangun juga, gimana saya mau mulai berjuang?"
Rian menghembuskan napas berat yang menyesakkan dadanya untuk kesekian kalinya. Cowok itu kemudian mengangkat kepalanya untuk melihat Acha kembali. Dan pandangan yang tertera di depannya langsung membuat Rian terpaku.
Mata itu terbuka. Bahkan Acha sedang memperhatikannya sekarang.
"Acha?!"
Dan setelah itu, senyum hangat yang sudah sangat lama tidak dilihatnya akhirnya nampak juga. Rian langsung bangun, buru-buru cowok itu menekan tombol bel agar suster cepat datang ke ruangan Acha.
Dada Rian seakan mau meledak. Perasaan senang itu begitu memenuhi rongga dadanya hingga rasanya ingin meledak saat ini juga. Rian tidak bisa menyembunyikan senyum dan raut senang di wajahnya.
Akhirnya, Achanya kembali lagi.
***
Fajar masih dengan wajah bantalnya. Mereka berdua kini tengah duduk di lorong rumah sakit. Dokter meminta mereka keluar, karena ada beberapa pengecekkan yang ingin dilakukannya pada Acha.
Rian masih bertahan dengan senyum yang tidak pernah lepas. Perasaan senang akan sadarnya Acha tidak bisa ia elak. Walaupun biasanya ia selalu berusaha menampilkan raut stay cool, tapi untuk momen ini Rian tidak bisa membuat dirinya menjadi seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf | Rian Ardianto
FanfictionRian dan Acha, seorang atlet dan seorang mahasiswi kedokteran yang tidak sengaja dipertemukan dalam sebuah kejadian. Pertemuan yang benar-benar menjadi memori itu, menyatukan hati mereka tanpa pernyataan dan campur tangan siapapun. Tetapi tidak ada...