Acha menutup pintu mobil dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Kaca mobil diturunkan sedetik setelah ia mundur selangkah. Cewek itu kemudian melirik pada Rian yang tersenyum padanya.
"Aku langsung pulang ya?"
Acha mengangguk pelan, "Hati-hati ya."
Cowok itu hanya tersenyum sebagai jawabannya. Setelah itu, mobilnya melaju meninggalkan rumah Acha. Acha mengembuskan napasnya kasar begitu dilihatnya mobil Rian sudah menghilang dari pandangan.
Siapa yang tidak terkejut ketika tiba-tiba cowok yang ia suka bilang akan datang untuk melamarnya? Bahkan untuk berpikir saja, Acha tidak bisa. Logikanya seketika menjadi tumpul. Rasa terkejut itu benar-benar menguasai dirinya.
Padahal Acha ingat betul, Rian pernah bilang kalau ia akan menunggu Acha menyelesaikan kuliahnya. Cowok itu tidak pernah bilang kalau ia akan melamar Acha dalam waktu dekat ini. Hanya kurang dari beberapa jam, dan ia baru mengungkapkan niatnya. Bahkan Acha belum menyiapkan mental sedikitpun.
Kakinya kemudian melangkah menuju pintu rumah. Acha lelah. Tubuhnya lelah. Pikirannya lelah. Ditambah lagi dengan keterkejutannya akan apa yang Rian katakan tadi. Acha jadi berpikir keras, apa yang harus ia katakan pada bunda?
"Cha."
Sebuah suara menyentaknya. Acha menoleh, namun tidak menemukan siapa-siapa di halaman rumah. Disini gelap, karena lampu teras belum dihidupkan. Sepertinya bunda belum pulang.
"Aku disini."
Mata Acha menyipit. Berusaha melihat sosok laki-laki yang melangkah keluar dari balik dinding rumahnya. Wajahnya tidak terlihat, postur tubuhnya tinggi dan tegap. Kemudian cowok itu melangkah mendekat, mempersilakan Acha untuk mengenali wajahnya. Dan ketika pupil mata Acha menangkap seberkas cahaya yang sekilas menyinari cowok itu, Acha terkejut bukan main.
"Ariq?!"
"Halo," kata cowok itu bersamaan dengan bibirnya yang melengkungkan senyuman.
Senyuman itu tampak seperti seringaian. Senyuman yang malah jadi tampak menyeramkan di mata Acha.
Acha mundur tiga langkah. Berusaha memberikan jarak yang cukup jauh dari Ariq. Cewek itu tidak mau berada dekat dengan orang yang pernah menyelakainya. Kalau bisa, sekarang juga Acha ingin menghempaskan Ariq jauh-jauh dari pandangannya. Acha tidak ingin bertemu dengannya lagi.
Acha ketakutan. Tangannya dengan kuat meremas bungkusan yang diberikan Rian tadi.
"Jangan takut, aku gak jahat."
"Kamu mau apa?"
"Aku kangen."
Acha menggeleng dengan kuat. Ia tidak habis pikir, kenapa Ariq masih saja mengganggunya?
"Aku gak mau ketemu kamu lagi, Ariq!" sentak Acha tiba-tiba. Cewek itu melangkah mundur lagi, namun kali ini diikuti dengan Ariq yang melangkah maju mendekatinya.
"Jangan takut, Acha. Aku gak bakalan nyakitin kamu." Ariq berkata begitu, namun kakinya terus melangkah maju. Seakan kata-katanya tidak sinkron dengan perbuatannya.
"Jangan maju! Berhenti disitu!"
Ariq berhenti. Cowok itu kemudian merentangkan tangannya, "Sini peluk."
"Kamu gila ya? Kalo kamu macem-macem, aku bakalan teriak sekarang juga!"
Mendengar itu, Ariq seketika terkekeh, "Oke oke, aku cuma mau ngobrol sebentar," katanya seraya mengangkat tangan ke udara.
Cowok itu lalu dengan santainya duduk di kursi teras. Sama sekali tidak menghiraukan Acha yang memandangnya penuh waspada.
"Kamu masih berhubungan sama Rian?" tanya Ariq sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf | Rian Ardianto
FanfictionRian dan Acha, seorang atlet dan seorang mahasiswi kedokteran yang tidak sengaja dipertemukan dalam sebuah kejadian. Pertemuan yang benar-benar menjadi memori itu, menyatukan hati mereka tanpa pernyataan dan campur tangan siapapun. Tetapi tidak ada...