39. Latihan

2.6K 332 41
                                        

Hari semakin berlalu, kondisi Acha semakin membaik setiap harinya. Cewek itu sudah bisa ke kamar mandi sendiri, pindah ke kursi roda sendiri, dan hal-hal lainnya sendiri, walaupun harus sedikit dituntun.

Rian dan Fajar selalu menjaganya bergantian setiap hari. Kedua cowok itu sudah tidak diam-diaman lagi setelah Rian datang dan meminta maaf pada rekannya itu. Cowok itu menjelaskan segala penyesalannya atas kebodohan niatnya sendiri. Lagipula ia juga yang akan ikut tersiksa jika harus dipaksa meninggalkan Acha.

Acha sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang. Bagaimana rasanya kalau kehilangan bagian dari hidup? Hampa.

"Kondisi pasien sudah semakin membaik. Saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Tinggal pemulihan, dan banyak latihan berjalan ya biar bisa jalan seperti biasa lagi," kata Dokter menjelaskan. Membuat ukiran senyum lebar di wajah yang mendengarnya.

"Dia udah boleh latihan jalan, dok?" kali ini Fajar yang bertanya. Raut wajahnya terlihat begitu lega dan bahagia.

"Iya boleh, tapi jangan terlalu diporsir ya. Perhatikan istirahatnya juga. Dia masih dalam tahap pemulihan."

Fajar mengangguk-angguk paham, "Abis ini latihannya sama abang ya, dek. Rian kan gak boleh megang kamu. Kita beduaan aja oke? hihihi adaw!-" tawa kecil Fajar seketika terhenti ketika Rian menepuk keras punggungnya.

"Aduh, anjir panas banget punggung gua!" Cowok itu kemudian bergerak-gerak seperti cacing kepanasan. Berusaha mengusap punggungnya yang tidak terjangkau tangan.

Dokter itu terkekeh, lalu kembali fokus ke Acha, "Sebelum saya pergi, ada yang mau ditanyakan lagi?"

"Makanan gak ada pantangan kan, dok?" kali ini Acha yang bertanya. Dokter itu tersenyum, ia melihat sebentar pada papan yang dibawanya kemudian menggeleng singkat.

"Gak ada. Yang penting makan makanan yang sehat dulu ya. Biar gizi terpenuhi dan cepet sembuh," katanya masih dengan senyum hangat pada Acha.

Rian melengos, apa-apaan dokter itu senyum-senyum segala ke Acha. Mau carper?

"Ada lagi?"

"Gak ada dok," Rian dengan cepat menjawabnya, "Silahkan...." Cowok itu kemudian membuka jalan, seakan menegaskan pada dokter itu kalau ia bisa pergi sekarang juga.

Dokter itu mengangguk kikuk, mungkin ia bingung dengan perlakuan Rian yang tiba-tiba jadi aneh. Namun tak lama hingga akhirnya ia memutuskan pergi setelah memberikan salam pamit beserta senyum hangatnya lagi.

Fajar terkekeh geli, "Ada yang cemburu, Cha."

"Enggak, itu biar dokternya lanjut keliling lagi. Kasian pasien lainnya kelamaan nungguin," jawab Rian membantah. Padahal sebenarnya terlihat jelas kalau cowok itu sedang cemburu. Raut wajahnya memperjelas segalanya.

"Ya udah si, cemburu mah wajar. Kamu ini ngeledekin aja kerjaannya," kali ini Bunda membela calon menantunya. Membuat Rian tersenyum lebar seraya menantang Fajar dengan pandangan kemenangan.

"Haha iya iya, Tan."

"Ya udah. Cha, kamu mau latihan jalan kapan?" Bunda beralih lagi ke Acha. Mengubah topik pembicaraan mereka.

Acha sumringah seketika, "Ayo sekarang!!!"

"Semangat banget," celetuk Rian sambil terkekeh. Sepertinya cowok itu sangat senang melihat Acha seceria itu.

"Lezgooo!!!" jawab Fajar tidak kalah semangatnya dengan Acha. Ia lalu menepuk bahu Rian, "Sana ambil kursi roda, Jom!"

Sekalinya masalah ambil-mengambil kursi roda saja, Fajar selalu menyuruh Rian. Padahal kan tadi cowok itu yang terlihat sangat bersemangat. Kemana semangatnya?

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang