56. Safe

1.4K 166 31
                                    

Keesokan harinya, pukul sepuluh pagi Rian sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitamnya. Sebelum keluar kamar, cowok itu menoleh sekali lagi pada kepingan ponselnya yang berserakan. Merenungi nasibnya sendiri yang sama hancurnya dengan ponsel itu.

Cowok itu kemudian mengembuskan napasnya kasar. Ia melangkah dengan langkah yang lebar menuju mobil. Siang ini, ia akan melangsungkan akad nikah dadakan dan secara rahasia di KUA.

Ini semua demi Acha. Cewek itu harus selamat bagaimanapun caranya.

Rian kemudian melirik sekali lagi pada kaca spion yang tergantung di mobil. Wajahnya pucat tak ada gairah hidup. Bibirnya yang berwarna merah itu kini berubah menjadi putih. Rian mendesah, ia benar-benar sudah tampak seperti mayat hidup sekarang.

Di lain sisi, Fajar juga sudah siap menjemput Acha. Pesan dari Sisy terkait dimana lokasi Acha saat ini sudah masuk ke ponselnya dari sepuluh menit yang lalu. Cowok itu kini sudah duduk di kursi kemudi. Ia menarik napasnya kemudian mengembuskannya secara perlahan. Setelah tangannya melepas rem tangan, cowok itu kemudian menginjak gas dan membawa mobilnya menuju alamat yang baru ia terima.

***

"Makan dong, say."

Ariq menyodorkan sendoknya lagi tepat ke depan mulut Acha. Wajahnya menampilkan raut manis agar cewek di hadapannya ini luluh dan mau menurutinya. Namun Acha tetap saja menutup mulutnya rapat-rapat.

"Hft, bandel." Ariq kemudian meletakkan kembali sendoknya ke piring.

"Hahaha, udah lah biarin aja, dia mau bunuh diri kali karena gagal nikah." Sisy tertawa di belakang sana. Cewek itu kini sudah siap dengan pakaian rapinya. Ia lalu bangkit dari duduknya seraya memutar-mutar kunci mobil di jari telunjuk.

"Gue berangkat ya, Cha. Doain ya, semoga akadnya lancar. Gue dan Rian jadi keluarga yang samawa."

Acha hanya diam, cewek itu tidak sudi untuk sekedar mengaminkan.

"Yah, bisu. Ya udah deh, gue juga gak butuh doa dari lo," kata Sisy diiringi kekehan pelan. Cewek itu kemudian melenggang pergi.

"Beneran gak mau makan, nih?" Ariq bertanya lagi membuat Acha membuang wajahnya. "Ya udah terserah," kata Ariq setelahnya. Diletakkannya piring yang masih penuh itu kembali ke meja.

"Kamu bener-bener gak mau lepasin aku?" Setelah sekian lama, suara Acha akhirnya terdengar juga. Dengan emosi dilihatnya raut wajah Ariq yang tenang-tenang saja itu.

"Tergantung Sisy," jawabnya acuh.

"Kamu udah jadi anak buahnya Sisy sekarang?"

Mendengarnya, Ariq tertawa terbahak-bahak. Entah dimana unsur lucunya, Acha tidak mengerti. Cewek itu hanya terus memandangi Ariq yang tertawa seperti orang gila sampai akhirnya cowok itu memberhentikan tawanya.

"Terserah kamu mau anggap apa, aku gak peduli." Ariq bangkit, dan berjalan mendekat ke arah Acha. "Aku kan udah pernah bilang, Cha. Aku tau semuanya. Baik buruknya ending kamu itu ada di tangan aku."

Ariq kemudian meraih rahang Acha untuk diangkat menatap wajahnya. "Andai kemarin kamu nurut, aku pasti bakalan kasih ending yang baik buat kamu."

"Memangnya apa yang bakal kamu lakuin kalau kemarin aku nurut?"

"Apa ya?" kata Ariq seraya berpikir sebentar. Cowok itu tersenyum miring setelah menemukan jawabannya, "Ngebuat kamu ninggalin Rian mungkin? Haha, iya lah! Gak ada ending bahagia untuk kamu dan Rian di daftar menu, Cha. Cuma ada dua opsi, kamu yang ninggalin Rian atau Rian yang ninggalin kamu."

Acha berdecih dalam hati. Sama saja, intinya yang Ariq inginkan tetaplah keburukan untuknya.

***

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang