23. Taaruf

7K 768 164
                                    

Rian mendorong kursi roda Acha kembali ke kamar. Sudah cukup untuk jalan-jalan hari ini. Acha tidak boleh kecapekan. Cewek itu harus banyak istirahat.

Walaupun sebenarnya Acha masih ingin menghirup udara segar, tapi akhirnya ia menurut juga pada Rian. yah, belajar jadi calon istri penurut.

"Mas di Bandung terus kayak gini, emangnya gak ada turnamen lagi?" Acha memulai obrolan. Sedari tadi mereka hanya saling diam, Acha lama-lama bosan juga.

"Enggak, saya mundur kemaren."

"Eh? Mundur maksudnya?"

"Iya, waktu kamu kecelakaan, saya sama Fajar mutusin buat mundur dari turnamen."

Acha berusaha menoleh untuk melihat bagaimana ekspresi Rian sekarang, tapi yang ada punggung cewek itu malah jadi sakit. Acha meringis, dan detik itu juga Rian langsung menoleh dengan wajah khawatirnya.

"Kenapa, Cha? Apa yang sakit?"

Acha menggeleng, "Enggak, agak nyeri aja waktu mau nengok ke belakang."

"Ngapain nengok-nengok?" Rian terkekeh, "Mau liat saya?"

"Ih! Geer amat sih!" walaupun begitu, pipi Acha tetap memerah juga. Untungnya Rian tidak lihat.

"Loh, kan saya nanya kok dibilang geer," Rian tertawa lagi. Entah kenapa hari ini begitu spesial untuk Acha. Sudah berapa kali Rian tertawa, mendengarnya, melihatnya, semuanya nampak spesial.

Acha tidak menjawab, cewek itu menunduk sedalam-dalamnya berusaha menyembunyikan pipinya yang benar-benar merah sekarang. Ah, ini pertama kalinya Acha merasakan hal seperti ini. Ternyata jatuh cinta itu indah juga ya?

"Nanti kalo ketemu bunda, langsung ingetin saya ya."

"Ingetin apa?" Acha mengernyit. Cewek itu tanpa sadar berusaha menoleh ke belakang lagi yang pada akhirnya membuat ia meringis karena punggungnya sakit.

Rian terkekeh. Ah, sudah berapa kali cowok ini terkekeh seperti itu?

"Gak usah dipaksain nengok, Cha. Nanti kalo udah sampe kamar saya kasih muka saya buat kamu liatin sepuasnya," kata Rian masih diiringi kekehannya.

"Eh, gak boleh lah kan belom sah!"

"Oh iyaya," kekehan Rian semakin kencang, "Ini kode biar saya cepet-cepet sah-in kamu atau gimana sih? Saya gak peka."

"Siapa juga yang ngode!" Acha malu, cewek itu berusaha mengalihkan topik kembali, "Mas! Kenapa tadi minta ingetin kalo ketemu bundaaaaa?"

"Ohiya," Rian teringat niatnya tadi, "Ingetin kalo ketemu bunda. Saya mau langsung minta restu buat taarufin anaknya."

Acha rasanya ingin menjerit dalam hati. Baru juga berencana taaruf beberapa menit yang lalu. Dan sekarang Acha sudah digempur habis-habisan begini. Gimana Acha mau cepet sehat kalo diginiin terus?

"Minta restu?" Acha garuk-garuk kepala, "Mas serius? Gak kecepetan?"

"Kecepetan apaan sih? Mau deketin anaknya harus minta restu bundanya dulu dong. Bener kan?" Rian mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar, "Kamu jangan lupa bantu doa."

Acha hanya diam, Rian melanjutkan lagi, "Setelah dapet restu, kita jalanin dulu. Mungkin kita bakalan saling jauh-jauhan. Saya di Cipayung, dan kamu di Bandung. Tapi tenang, hati saya, bakalan saya tinggal disini. Biar kamu aja yang jaga. Jadi kamu gak perlu khawatir saya macem-macem disana."

"Kok diem aja?" Rian terkekeh, "Ngomong, Cha. Saya mau denger suara kamu."

"Apaan sih," Acha menenggelamkan wajahnya pada telapak tangan, "Mas udah dong, jangan dilanjut lagi ngomongnya. Udah, cukup."

Taaruf | Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang